Selasa, 03 April 2018

Marni


Marni adalah seorang gadis desa yang cantik jelita. Wajahnya bulat dengan matanya yang belok. Rambutnya sebahu dengan warna hitam kemerah-merahan. Lesung pipi selalu menghiasi wajahnya jika dia tersenyum. Tingginya 165 cm dengan berat 55 kg membuat postur tubuhnya ideal. Singkat kata Marni adalah gadis desa yang menjadi primadona di kampungnya. 

Kini Marni sedang dirundung rindu. Pemuda yang dia cintai telah pergi entah kemana. Dua tahun yang lalu merantau ke seberang lautan dan hingga kini tidak kunjung pulang. Marni selalu menunggu di perbatasan desa, di mana tempat itu dulu adalah tempat perpisahan untuk terakhirnya kalinya. Setiap pagi dan sore hari, Marni pasti berdiri di tempat itu dengan membawa selendang warna biru tua pemberian darinya. 

Hampir setiap hari Marni pergi ke rumah Pardi. Bertemu ibu Pardi untuk menanyakan kabar anaknya. Tapi apa yang dia dapatkan? Lagi-lagi hanya kecewa. Pardi tak kunjung memberi kabar kepada dirinya maupun keluarganya. 

Setiap malam, Marni duduk di teras rumahnya. Memandangi langit, dalam hati kecilnya, dia merasa bahwa Pardi juga memandangi langit yang sama. Memandangi langit adalah ritual yang membuat rindunya sedikit terobati. Dibaca-baca lagi semua surat yang pernah dikirim untuknya sebelum Pardi pergi. Pardi saat rajin mengirimi Marni surat. Padahal rumah Marni dan Pardi tak terlalu jauh jaraknya. 

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, namun tanda-tanda kepulangan Pardi tak kunjung ada kabar. Orang tua Marni gusar melihat tingkah anaknya yang semakin lama semakin tidak normal. Marni dulu gadis periang, aktif di berbagai acara karang taruna di desanya. Namun kini Marni lebih banyak berdiam diri di kamarnya, ke perbatasan desa atau melamun di teras rumahnya ketika malam menjelang. 

Marni seperti orang yang kehilangan jiwanya. Raganya hanya raga yang tidak bernyawa. Menjalani rutinitas hariannya nyaris tanpa semangat dan senyum ceria. Marni seperti mayat hidup yang berpenyakit ganas, yaitu kanker rindu stadium empat. 

Suatu hari keluarga Marlan datang ke rumah Marni. Marlan memang dari dulu ada hati dengan Marni. Marlan ingin menjadikan Marni sebagai istrinya. Marlan pandai membaca situasi bahwa Pardi sudah tidak ada kabar, maka Marlan berani untuk meminang Marni. Namun bagaimana reaksi Marni? Marni dengan serta merta mengusir Marlan dan keluarganya keluar rumah. Mengetahui diperlakukan tak sepatutnya, Marlan sakit hati. 

Keesok harinya Marlan pergi ke orang pintar di tetangga desa. Marlan ingin Marni mau menerima lamarannya. Mbah dukun memberikan jampi-jampi dan ritual yang harus dilakukan Marlan. Inilah kata orang, cinta ditolak dukun bertindak. 

*** 

Marni kini semakin linglung seperti orang binggung. Rambut yang dulu sebahu kini semakin panjang. Namun rambut yang semakin panjang itu jarang disisir, acak-acakan, warna hitamnya kini semakin dimonompoli warna merah. Senyumanya yang dihiasi lengsung pipi kini tak ada lagi. Lesung pipinya telah pergi sejak Pardi menghilang tanpa kabar. Mata belok dengan bulu mata yang lentik kini lebih sembab karena banyak air mata yang keluar. Kantung mata semakin tebal dan menghitam. Karena setiap malam dia kurang tidur memandangi langit di teras rumahnya. Terkadang jika hujan, Marni tetap nekat ke luar. 

“Oalah Nduk-nduk Kamu ini kenopo to?” Tanya ibunya sambil membelai rambutnya. 

Marni tidak menjawab pertanyaan itu, pandangannya kosong seperti hari-hari sebelumnya. 

“Mandi dulu saya! Sudah seminggu kamu belum mandikan?” perintah ibunya kepada Marni. 

Marni tidak pergi ke kamar mandi, dia malah masuk ke dalam kamarya mengambil selendang biru. Dilingkarkan selendang itu di lehernya, dia pergi mengelilingi desa. Rutinitas yang akhir-akhir ini dijalaninya. 

*** 

Suatu hari, mobil sedan warna putih masuk ke desa. Semua orang dibuat takjub dengannya, karena konon tidak banyak mobil yang masuk ke desa itu, kecuali milik Pak Lurah. Seseorang turun dari mobil sedan berplat Jakarta. 

“Pardi?” Teriak seorang warga yang mengetahui bahwa yang turun dari mobil sedan warna putih itu adalah Pardi, tetangganya. Sudah hampir tujuh tahun Pardi menghilang tanpa kabar berita. Tak lama Pardi turun dari mobinya, ada seorang wanita dan anak perempuan kecil juga turun dari sana. 

“Mbak Sur, kenalin ini istri dan anak saya!” kata Pardi kepada Surti. 

“Ya Allah Pardi, kamu kemana saja?” kata Surti. 

Belum sempat Pardi menjawab pertanyaan Surti, mata Pardi menangkap sosok wanita yang berkalung selendang biru melintas di depannya. Namun wanita itu seperti sudah tidak mengenalinya lagi. 


#Rindu
#30dwc
#squad4





12 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih mba Nania ... haduh namanya saya suka jadi ingat kang Rafli hehehehe

      Hapus
  2. Balasan
    1. terimakasih mba putria salam kenal ...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terimakasih sekali telah berkunjung kesini wahai anak desa

      Hapus
  4. Kok... Aku greget bacanya~ :3
    Tujuh tahun, terus datang-datang bawa anak isteri. Heuuu~~~ :3

    BalasHapus
  5. Ayo Marni ... Cekek si Pardi... 😈😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ga boleh ngajarin yang jelek mba Lia ..
      Pardi diajak ngopi ajah ... kopi sianida wkwkwkwk

      Hapus
  6. I love this story, good job

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih banyak uncle telah berkunjung.

      Hapus