“Haysa... ada telepon untukmu!”, suara ibu dari ruang
tengah.
“Iya Bu.” Dengan langkah gontai aku menuju tempat dimana
telepon itu diletakkan.
“Assalamualaikum”, sapaku membuka pembicaraan.
“Haysa ... aku... mau minta maaf”, suaranya gemetar dari
ujung telepon. Namun aku tahu siapa dia, aku kenal betul dengan suaranya.
“Mas Fikri, ada apa mas?” tanyaku. Namun tanya itu tidak
menemukan jawabannya.
Tut... tut...tut... sambungan telepon itu mati
***
Pagi yang sepi, tak ada suara kecuali bunyi burung-burung
pipit menyambut pagi. Semburat warna merah dan sedikit jingga menghiasai langit
yang siap menyambut matahari. Hatiku masih membeku karena tanya semalam. Tanya itu
telah merenggut nyenyaknya tidurku. Hembusan angin yang terasa dingin saat
mnyetuh kulitku nyatanya tak sanggup mengusir kegelisahan dalam hati.
Pagi ini kubulatkan tekad untuk menemui pemuda itu. Pemuda yang
sudah kukenal 2 tahun lamanya. Berawal dari perkenalan yang tak disengaja di
dalam sebuah bandara. Dan selama 2 tahun ini, dia telah mewarnai hidupku. Dia telah
mengajariku banyak hal, tentang kehidupan, tentang bagaimana menjalani hidup
bahkan tentang ketuhanan.
Metromini yang kini kutumpangi terasa lambat sekali
jalannya. Penumpangnya bergantian, ada yang naik dan ada yang turun. Dari wajah
mereka nampak seperti enggan untuk melewati hari ini, meskipun ada juga
wajah-wajah yang sangat sumringah. Hingga sampailah dimana tempat yang aku
tuju.
Rumah itu masih nampak seram bagiku. Bangunannya masih
arsitektur bangunan tua, dengan jendela besar di depannya. Nampak angkuh sekali
dengan warna putihnya. Tapi kenapa rumah itu sepi. Pintunya yang terbuat dari
jati tertutup, begitu juga dengan jendela-jendelanya. Tak ada aktifitas manusia
disana. Bahkan lampu teras dibiarkan menyala.
“Assalamualaikum...” Tak ada yang menyambut salamku. tok..
tok... tok... Kuketok berkali-kali pintu jati itu.
Hatiku semakin kalut, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa
tadi malam mas Fikri menelepon dan meminta maaf? Dan sekarang rumahnyapun
kosong.
“Maaf Bu, ibu tau
kemana keluarga pak Shaleh? Saya ketok pintunya berkali-kali tapi gak ada
jawaban,” tanyaku kepada tetangganya.
“Waduh maaf Mba, saya kurang tahu. Cuma kemarin saya lihat
mereka pergi bawa koper besar,” jawabnya.
“Pergi kemana ya Bu? Hmm... maksud saya, mungkin sebelumnya
pernah cerita sama Ibu mau pergi kemana gitu?”
“Enggak mba... saya juga kurang tahu. Waktu kemarin saya
juga ga nanya. Wong sepertinya buru-buru begitu.”
Kemana mas Fikri dan keluarganya? Kenapa tiba-tiba sekali
mereka pergi tanpa memberitahuku? Ya... harusnya pamit dulu denganku. Bukankah
aku dan keluarga mas Fikri sudah seperti keluarga sendiri? Sebenarnya ada apa
ini? Apa yang terjadi dengan mas Fikri dan keluarganya?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar