Malam itu, 31 januari 2013
perutku merasa mulas, tanda-tanda akan melahirkan pun semakin jelas. Aku nyakin
entah malam ini atau besok pagi, bayi dalam kandunganku pasti akan lahir.
Kulirik tas yang tergeletak di pojok kamar, tas untuk persalinan. Tas itu
berisi baju bayi, baju gantiku, kerudung dan sarung. Sebenarnya perasaanku tak
setegang melahirkan anak pertama dulu, cuma ada yang menganjal pikiranku, sekarang
pukul 23.30 wib bagaimana jika bayi ini tak sabar ingin bertemu dengan ibunya?
Kami naik apa ke rumah bidan yang jaraknya lumayan jauh? Tidak mungkin kami
naik motor, motor itu pasti overload karena ada aku, ayahnya dan Rizwan anak
pertama kami. Sedangkan mencari taksi tengah malam begini, apa ada ?.
Ku
elus-elus perutku, kukatanya padanya, “Nak keluarnya besok pagi saja ya, agak
pagian!”, pintaku. Mules itu bertambah namun durasinya masih lambat.
Tanggal
1 Februari 2013. pukul 03.15 wib.
Darah
segar itu sudah nampak. “Mungkin ini waktunya aku harus pergi”, gumamku dalam
hati. Tas di pojok kamar itu kuraih, suamiku yang sudah siap dari tadi
menstater motornya untuk mencari taksi. Dalam perjalanan, perutku bertambah
kontraksinya. Dan sepertinya supir taksi itu tau bagaimana kegundahanku, aku
takut melahirkan dalam taksi ini. Dengan kencang dia kemudikan mobilnya.
Pukul
06.00 wib Bulak kapal Bekasi.
“Masih
bukaan 3 bu”, kata bidan itu kepada ku. “Mungkin sejam atau dua jam lagi, ibu
tunggu di sini saja ga usah pulang”.
Ku
elus perutku, “Anak Pintar, nanti bantu ummi ya nak! Ummi juga sudah ga sabar
ketemu sama kamu”.
Kontraksi
itu semakin lama semakin sering. Tulang ekorku seperti ditarik dan mau putus
rasanya, sakit sekali. Melihat ibunya yang meringis kesakitan, Rizwan (yang
waktu itu masih berusia 4 tahun) mengelus-elus perutku.
“Sabar
ya ummi, adik Rizwan mau keluarkan?”, tanyanya.
kujawab
pertanyaan itu hanya dengan anggukan kepala.
Pukul
10.00 wib.
Kontraksi
nya semakin sakit dan jeda waktunya semakin sering, dari pengalaman melahirkan
sebelumnya aku tahu bahwa bayiku mau lahir ke dunia.
“Ayah
tolong panggilkan bidannya”, pintaku dengan berbisik.
Bu
Bidan pun datang, setelah diperiksa akhirnya aku di bawa ke ruang
bersalin.
“Rizwan
tunggu diluar ya, ayah jagain ummi mengeluarkan adiknya”, sayup-sayup kudengar
suamiku bicara dengan anak sulungku.
Disela
rasa sakitku, kulantunkan doa dan pujian untuk-Nya. Yang katanya ini adalah
pertaruhan nyawa seorang ibu untuk anaknya. air ketubanku pecah dan inilah
saatnya perjuanganku dimulai. Berkali-kali aku mengejan tapi mengapa dia tidak
jua mau keluar?
“Ayah... , aku sudah ga kuat”, kataku, aku menyerah.
“Bentar
lagi ummi, bentar lagi… , semangat ya!”, memotivasiku sambil menggemgam
tanganku.
“Ayo
bu… Mengejannya pake tenaga perut ya, ga usah bersuara. Sebentar lagi kok,
sudah kelihatan kepalanya”, kata bidan itu menyemangatiku.
Dan
akhirnya lahirlah dia dengan persalinan normal, Uwais nama yang kami berikan
untuknya. panjangnya 50 cm dengan berat 3,8 kg. karena bayinya besar, pundaknya
selalu nyangkut ketika hendak keluar, itulah mengapa mengejan berkali-kali tapi tidak kunjung lahir. Dari ketiga persalinanku, melahirkan
uwais adalah yang paling sakit dan membutuhkan perjuangan yang panjang.
***********
Kini
bayi yang dulu susah di lahirkan, hari ini tanggal 1 februari 2018 genap
berumur 5 tahun. Harapan kami sebagai orang tua, kami ingin kamu seperti sosok
namamu, Muhammad Uwais Al-qarny. Muhammad seperti sosok rasul Allah,bahwa kamu
umatnya nabi Muhammad, harus meneladi kehidupan dan akhlak beliau. Sedangkan
Uwais adalah pemuda dari Qarn, seorang pemuda yang tidak dikenal oleh penduduk
bumi tapi terkenal oleh penduduk langit. pemuda yang sangat berbakti kepada
ibunya.
Tulisan
ini aku persembahkan buat uwais anakku...
(bahwa
ibunya pernah menulis ini untuknya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar