Kamis, 17 Mei 2018

Sang Bapak


Lelaki itu menatap lekat segelas air sirup di meja. Pikirannya melayang ke masa lalunya. Matanya tak bisa beralih dari gelas yang berwarna merah. Digenggamnya gelas itu dengan erat. Dingin dari gelas  kini telah merambat ke tangannya dan membekukan hatinya. 

Sosok lelaki yang sudah dewasa itu, tubuhnya mengkerut menjadi seorang bocah kecil. Kursi dan mejanya tak lagi sama. Hidangan di meja juga sangat jauh berbeda. hanya ada dua gelas air putih dan nasi berlauk tempe. Sedangkan di ujung meja adalah wanita separuh baya yang wajahnya sangat letih. Posisinya masih sama, memengang gelas. Namun gelasnya kini hanya berisi air putih yang tak bersuhu. Diangkatnya gelas itu dan di letakkan di bibirnya. Air itu tak manis. 

“Emak, kapan kita bisa beli sirup buat berbuka?” kata bocah itu. 

“Nanti ya Le, kalau Emak ada rejeki.” 

Mendengar jawaban dari Emaknya begitu, bocah itu tak banyak protes. Diteguk lagi air putih itu dengan penuh takzim. Dia sangat tahu bagaimana Emaknya harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak Bapaknya minggat entah ke mana. Emaknya banting tulang, pagi menjadi buruh cuci gosok, siangnya mencari rosokan. Membeli dan menikmati segelas sirup ketika berbuka adalah sesuatu yang mewah bagi mereka. 

Setiap hari bocah itu membantu emaknya mencari rosokan. Dari keliling mencari rosokan itulah dia tahu, di rumah warga banyak televisi yang mengiklankan salah satu merk sirup untuk berbuka puasa. Iklan itu memang sangat santer jika bulan ramadhan. Seperti siang ini, dengan keringat yang membuat badannya semakin dekil, dia menyaksikan lagi iklan sirup itu. Lagi-lagi dia menelan ludah. Keinginannya semakin memuncak, kering tenggorokannya semakin meronta ingin dialiri air manis yang beraneka warna. 

Entah syaitan apa yang membisikkan ke dadanya. Dengan terburu-buru dia masuk ke salah satu minimarket. Ditujunya tempat botol sirup berbagai merk dipajang. Diambilnya salah satu botol dan di masukkan ke dalam kaosnya yang sudah melar. Dengan langkah was-was dia meninggalkan deretan botol itu. Namun seorang bapak ternyata memilhat gerak geriknya dari tadi. Dihadang tubuh dekilnya. Badan Andi gemetar, dia tak berani menatap sosok di depannya. 

“Namamu siapa?” 

“Hmm An ... an ... Andi, Pak!” Dengan terbata-bata dia menjawab pertanyaan itu. 

“Lain kali jangan mencuri ya! Ini uang buat kamu bayarkan ke kasir!” Kata bapak itu sambil menyodorkan sejumlah uang. 

Kini Andi menantap Bapak itu dengan penuh ketakutan. Namun seutas senyuman tulus tergambar di wajah sang bapak. Dengan buru-buru dia menuju ke kasir dan membayar sirup yang nyaris dia curi. Setelah membayar, dia menoleh ke tempat Bapak tadi berdiri, namun sudah tidak ada lagi. 

Sejak peristiwa itu Andi selalu berdiri di depan minimarket itu. Menunggu sosok sang Bapak yang telah memberinya sejumlah uang. Namun tak pernah dia temukan. Sosok bapak itu bagaikan seorng malaikat yang diutus untuk membantu dirinya. Untuk merasakan manisnya air yang bernama sirup. 

*** 

“Mas, kok tidak segera berbuka? Sudah adzan dari tadi loh!” Suara lembut dari seorang perempuan yang duduk persis di depannya. Suara lembut itu juga yang telah mengembalikan pikirannya yang sudah melayang dari peristiwa puluhan tahun silam. Seorang perempuan yang telah dia nikahi 4 bulan yang lalu. 

Andi kini menjadi seorang pengusaha yang memiliki pabrik minuman sirup merk terkenal. Setiap ramadhan dia bagikan anekan makanan dan minuman sirup ke panti asuhan, ke anak-anak jalanan dan penghuni kolong jembatan. Dengan berbuat begitu dia merasa bahwa mungkin inilah caranya untuk berterimakasih kepada sosok sang Bapak yang telah menolongnya waktu itu. 



#tantanganRWC
#Day1
#sirup

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar