Kamis, 29 Maret 2018

Tantangan 9 Be Creative Day 8



Toko Makanan dan Buah


Hari kedelapan anak-anak mulai "menciptakan" kreatifitas maenannya sendiri. Hari ini mereka menggambar di kertas mereka masing-masing. Rizwan menggambar berbagai macam makanan dan minuman, ada es krim, kentang goreng, pizza. Sedangkan Uwais menggambar aneka macam buah dan berupa titik-titik, dan ketika saya tanya itu adalah biji buah. Saya rasa mereka menggambar sesuai dengan apa yang mereka suka. Rizwan suka makanan yang persis ada di gambarnya sedangkan Uwais juga demikian, menyukai berbagai macam buah-buahan.

Awalnya saya pikir mereka hanya menggambar makanan kesukaannya. Namun saya salah, mereka membuat gambaran tersebut bukan hanya buat gambaran, namun mereka membuat sebuah toko yang isinya menjual barang-barang yang ada di gambarnya.

Waow ... jujur, saya kaget sekali. Mereka bermain peran. Berperan sebagai penjual dan pembeli, hmm ... sama-sama penjual dan pembeli mungkin lebih tepatnya. Dibawah gambar-gambar itu memang ada harganya. Dan saya tahu Uwais beradegan sebagai penjual saat dia menawarkan barang dagangannya.

Lucu sebenarnya, karena gambar Uwais meskipun tidak sempurna bentuknya, namun ketika saya tanya, "Ini buah apa Uwais?" Dia menjawab dengan yakin sekali bahwa itu adalah gambar melon, semangka, anggur dan apel. Sedangkan di sisi sebelahnya adalah biji-bijinya yang bisa ditanam. Lalu ada angka di sampingnya, kalau saya tanya itu adalah harganya. Karena belum bisa menulis, dia meminta saya menulis kata "buah" diatas gambar yang dia sebuat buah dan kata "biji" yang dia sebuat sebagai biji.


Alhamdulillah nya, kegiatan bermain peran ini bisa mengalihkan perhatiannya dari melihat televisi atau bermain gawai.



Selasa, 27 Maret 2018

Diorama Cinta Part 13



Aku lihat ruangan yang serba berwarna putih. Ruangan yang sama sekali tidak aku kenali. Ada Haifa, Faras, ibuku dan ibu mertuaku. Ada selang infus di tanganku. Aku mencoba untuk bangun, namun kepalaku masih terasa sakit.

“Fania .... " Mereka hampir berbarengan memanggil namaku.

“Aku di mana?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit, Fania!” jawab Haifa.

“Kamu sakit, kok gak bilang sama ibu, Nduk?” kata Ibuku.

“Tolong jangan bilang ke Mas Bram ya Bu!” Aku memohon kepada Ibu mertuaku. Beliau cuma mengangguk dan tersenyum.

Aku lihat Faras duduk di sofa. Sofa yang terletak tepat di depan tempat tidur. Dia masih mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru seperti waktu di acara reuni. Dia menatapku dengan tatapan iba. Sedangkan Haifa berdiri di sampingku bersama Ibuku dan Ibu mertuaku. 

“Aku pingsan ya?” tanyaku.

“Iya Fania, kamu pingsan. Faras dan Haifa membawamu ke rumah sakit,” kata Ibuku.

“Makasih ya Ras!” Sengaja hanya aku tujukan buat Faras. Aku tahu bahwa Haifa pasti memaklumiku. 

Faras hanya tersenyum. Seorang dokter dan perawat datang. Dokter Arya, begitulah yang aku baca di jas baju praktiknya.

“Fania ... besok kita akan melakukan pemeriksaan yang menyeluruh. Dokter Haysa, adalah dokter kandungan terbaik di rumah sakit ini akan memeriksa kamu. Bagaimana masih terasa pusing?” tanya dokter Arya.

“Sedikit, Dok!” Aku jawab pertanyaan itu dengan berbohong. Aku tak ingin semua orang mengkhawatirkan kondisiku.

“Iya ... kamu kekurangan darah Fania, sudah berapa lama pendarahan ini?” tanyanya lagi.

“Sudah seminggu lebih Dok.”

“Obatnya diminum ya, istirahat yang cukup! Biar besok badannya terasa lebih fresh.”

“Iya Dokter.”

Faras yang dari tadi duduk di sudut sofa, kini berdiri dan menuju keluar, mengikuti dokter itu pergi. Haifa mengikuti langkah Faras. Sedangkan Ibuku dan Ibu mertuaku masih setia di sampingku.

“Sabar ya, Nduk! Gusti Allah yang ngasih kesembuhan. Banyak doa dan istighfar.” Kata Ibuku sambil memijit kakiku.

Inggih, Bu!” kataku sambil tersenyum.




Bersambung ....

Baca Cerita sebelumnya : Diorama Cinta Part12

Senin, 26 Maret 2018

Tantangan9 "Be Creative" Day5



Day 5 

Belajar sambil Bermain


Masih seputar tantangan untuk mengurasi durasi melihat tayangan televisi dan pemakaian gawai di rumah. Di hari kelima ini, untuk mengalihkan televisi dan gawai saya membeli buku aktifitas “Belajar sambil Bermain 1”. Buku itu berisi tentang kegiatan menggambar, mencari bayangan benda, mewarnai, mencari jalan, dan menghubungkan benda yang sama.

Uwais sepertinya sangat tertarik dengan buku ini. Dia ambil pensil dan mengerjakanya. Waktu malam menjelang tidur, dia juga masih mau mngerjakan.

“Ummi, mana buku Wais, Wais mau sekolah ini lho!” katanya.

Memang selama ini, jika dia belajar sesuatu dia analogikan sebagai kegiatan sekolah. Uwais yang sekarang menginjak usia 5 tahun memnag belum bersekolah. Saya berfikir bahwa memang saya menunggu Uwais siap untuk bersekolah. Usia 5 tahun sepertinya usia yang pas.

Karena selama ini saya berkaca kepada kakaknya, Rizwan. Saat itu saya masih kurang paham tentang ilmu parenting, sejak dini, saya sekolahkan Rizwan di sekolah formal. Ya ... mulai usia 3 tahun. Lalu apa yang terjadi ketika dia menginjak usia sekolah dasar? Dia sepertinya sudah bosan dengan rutinitas sekolah, setiap pagi pasti mencari alasan untuk meliburkan diri, mungkin sindrom malinggering sederhana terkadang menjangkitnya.



#Tantangan9
#BeCreative
#KelasBunsay
#IIP

Resume Materi 9 Kelas Bunsay


"Be Creative"



Setiap anak adalah kreatif. Mereka terlahir dengan rasa ingin tahu tentang banyak hal yang besar. Mereka tidak mengenal kata “tidak mungkin”. Mencoba semua hal dan tidak takut salah. Namun mengapa sekarang anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak kreatif? 

Karena kitalah yang mematikan kreatifitas mereka. Sering kali para orang tua terlalu protektif terhadap anak mereka. Kita takut, besok anak-anak kita akan menjadi apa? namun kita lupa bahwa mereka adalah seseorang yang sedang menjalani hidupnya hari ini. 

Lalu para orang tua mengirimkan anak-anak mereka ke "sekolah". Ke sekolah yang sistem pendidikannya membuat citra positif akan kemampuan belajar mereka semakin menurun. Gaya belajar yang hanya mentransfer ilmu tanpa melibatkan proses berfikir kreatif anak. Dan seringkali menseragamkan pola pikir, padahal setiap anak adalah unik dan mempunyai pola pikir yang berbeda. 

Jadi apa yang harus kita lakukan? Berikan kepada anak-anak kita lebih banyak dukungan. Cintai mereka tanpa syarat. Setiap anak adalah unik, maka hargailah keunikannya. Dan beri ruang seluas-luasnya untuk mereka jelajahi. 

Bukalah kotak pemikiran kita. Jangan batasi anak-anak sebatas pemikiran dan pengalaman kita saja. Biarkanlah ia berpikir berbeda dari hal-hal yang pernah kita alami. 

Asumsi kita kadang berbeda jauh dengan asumsi anak-anak. Jangan terburu-buru membuat pernyataan, namun perbanyaklah membuat pertanyaan. Agar anak-anak kita bisa menyampaikan idenya dengan CLEAR dan tugas kita hanya mengklarifikasi saja (CLARIFY).

Sesungguhnya proses kreatifitas adalah EVOLUSI (Ide baru dibangkitkan dari ide sebelumnya), SINTESIS (Dua atau lebih ide digabungkan menjadi sebuah ide baru), REVOLUSI (Benar-benar membuat perubahan baru dengan pola yang belum pernah ada). 

Ubahlah Fokus dan geser sudut pandang. Dalam mendampingi anak-anak kita perlu memiliki berbagai sudut pandang kreatif setiap melihat aksi mereka. 

Maka ... 

Jika ingin melihat anak-anak kita menjadi anak-anak yang kreatif, kitalah yang terlebih dahulu harus berubah!

#resumemateri9
#BeCreative
#KelasBunsay
#IIP

Minggu, 25 Maret 2018

Tantangan 9 "Be Creative" day 4

Berkunjung Ke Rumah Nenek


Minggu ini adalah waktu berkunjung kerumah Nenek. Jadwal berkunjung ke rumah Neneknya anak-anak, memang sudah kami agendakan setiap dua minggu sekali. Rumah Ibu berada di Kecamatan Pandaan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Kota Pandaan terletak di kaki gunung Penangungan. Maka tidak heran suhu di sana lebih dingin daripada di Gresik, tempat tinggal kami sekarang. Letaknya sangat strategis, berada di tengah-tengah jalur Malang - Surabaya dengan akses menuju tempat pariwisata yang banyak.

Masih dalam suasana tantangan kelas Bunsay game level 9 yaitu dengan tema "Be Creative". Dan yang menjadi tantangan kami di hari-hari sebelumnya adalah bagaimana mengalihkan perhatian anak-anak dari gawai dan televisi maka hari kedua di rumah neneknya, kami gunakan untuk mengeksplorasi kota Pandaan.

Tujuan awal yang kami kunjungi adalah Taman Dayu. Taman Dayu awalnya adalah kawasan hunian dan resort golf yang dilengkapi dengan fasilitas Waterpark, Boutique Hotel, Camping Ground dan Outbound. Saat ini seiring dengan perkembangan di Kecamatan Pandaan, kawasan Taman Dayu telah dikembangkan menjadi kota mandiri yang juga dilengkapi dengan pusat bisnis dan perdagangan yang dikenal sebagai Pandaan Central Business District (CBD). Di dalam area Pandaan CBD ini didirikan gedung pertokoan, pusat jajanan kuliner (Food Terrace dan Food Veranda) dan Public Area yang berisi berbagai hiburan keluarga.

Sejak sekitar tahun 2007 kawasan Taman Dayu telah menjadi ikon kota Pandaan. Kawasan hunian The Taman Dayu dan Pandaan CBD dikembangkan oleh Ciputra Group. Di atas bukit, baru dibangun sebuah restaurant yang berkonsep alam, De Gunungan namanya. Sebuah rumah makan yang tidak hanya menjual makanan tapi juga menyediakan wisata pemandangan alam bagi para pengunjung.

Setelah dari Taman Dayu, destinasi selanjutnya adalah Taman Chandra Wilwatikta yang di dalamnya terdapat panggung sendratari alami terbesar di Indonesia dengan latar belakang gunung Penanggungan. Di panggung sendratari ini pernah diadakan festival tari Ramayana se-Asia. Taman Chandra Wilwatika juga terdapat tempat penangkaran rusa. Dan kini juga dibangun area bermain untuk anak-anak.






Seharian Mengeksplorasi dua tempat wisata di Pandaan ini, membuat anak-anak lupa dengan gawai dan tayangan televisi. Sebenarnya banyak cara untuk sedikit demi sedikit membiasakan anak-anak untuk tidak kecanduan gawai ataupun televisi. Namun memang dibutuhkan kesabaran dan kreativitas kegiatan yang beragam agar mereka bisa enjoy dan terlupakan.


#Tantangan9
#KelasBunsay
#Tantangan10hari
#BeCreative
#IIP

Sabtu, 24 Maret 2018

Tantangan 9 "Be Creative" day 3

Berkreasi dengan Kardus


Hari ketiga masih seputar mengahadapi tantangan dalam mengurangi durasi untuk melihat televisi di pagi hari. Hari ini adalah hari sabtu dan hari sabtu ayah mereka libur. Anak-anak akan melakukan berbagai macam aktifitas bersama Ayah. Dan hari ini aktivitas yang dilakuakan adalah membuat sebuah perahu dari bahan kardus.

Kenapa membuat sebuah perahu? Karena minggu depan kita akan mengikuti Family Camp se Jawa Timur yang mengharuskan setiap keluarga membuat perahu untuk dijadikan salah satu ajang perlombaan di sana. Kenapa kita memilih bahan kardus? Karena kardus adalah bahan yang paling gampang kami temukan di rumah. Lalu apakah nanti bisa bertahan lama di air? Tenang, kami sudah melapisi bagian bawah kardus dengan menggunakan solasi. Tapi apakah nanti perahu kami bisa mengarungi aliran sungai di sana? Nah kalau menjawab pertanyaan ini, mungkin itu nanti menjadi bahan tulisan saya selanjutnya.

Menjadi orang tua kreatif sebenarnya bisa dilakukan dengan bahan-bahan yang ada di sekitar kita. Membuat anak-anak untuk lepas dari gawai dan televisi pasti membutuhkan kreatifitas dan usaha yang sungguh-sungguh.

Hari ini keluarga kami belajar bagaimana meningkatkan bonding keluarga, dan bonding itu bisa di lakukan dengan cara-cara yang sederhana. Meskipun anak-anak tidak 100% membantu dalam proses pembuatan perahu, namun di sini, mereka akan banyak belajar tentang bagaimana cara menyampaikan ide, ide dari kreatifitas mereka.

Setelah perahu kami siap, ternyata masih ada sisa kardus. 
"Hmm ... enaknya dibuat apa ini?" tanyaku kepada anak-anak.
"Kita buat menjadi baju robot aja," usul Uwais.

Dan inilah hasil dari kreatifitas kami pagi ini, sebuah perahu dan baju robot (hmm atau baju perang?) Ah ... itu sih terserah yang menilai ya! hehehehe



#TantanganLevel9
#10hari
#kelasBUnsay
#Becreative
#IIP


Jumat, 23 Maret 2018

Tantangan 9 "Be Creative" Day 2

Membuat anak untuk lepas dari televisi dan gawai memang bukan perkara yang mudah. Butuh konsistensi dan kesabaran. Sebenarnya bisa lebih mudah, kalau seumpama kita hidup sendiri dengan keluarga kecil kita. Namun jika berada di lingkungan yang menyangkup nenek dan kakek pasti juga ada tantangannya.

Di hari ke dua tantangan level 9 ini, aku mengajak anak-anakku yaitu Uwais dan Fatir (karena mas Rizwannya masih sekolah) pagi ini bermain origami. Seni melipat kertas dari Jepang ini sebenarnya mempunyai banyak bentuk yang bisa dihasilkan. Untuk pagi ini, aku tidak memberikan contoh bentuk tertentu, namun Uwais sendiri yang membuat bentuk sesuai dengan imajinasinya. Meskipun dia sedang sakit dan melakukannya di atas kasur tapi dia masih semangat dengan aktifitas yang saya berikan pagi ini, dan hasilnya adalah ...

 




"Itu bentuk apa?" tanyaku.
"Ini bentuk lidah raksasa," jawab Uwais.
"Oh ... iya iya." Kataku sambil ku anggukan kepala. Aku ambil gawaiku dan aku suruh dia bergaya.


Setelah bosan dengan aktifitas bermain origami, aku ambil lagi buku gambar yang kemarin, yang  di halaman dua nya ada gambar kota. Aku ajak Uwais untuk mewarnai. Meskipun saya juga ikut mewarnai namun alhamdulillah kegiatan pagi ini, bisa mengalihkan kebiasaannya untuk menonton televisi di pagi hari.


#TantanganLevel9
#10hari
#kelasBUnsay
#Becreative
#IIP



Kamis, 22 Maret 2018

Rumah itu Bernama Bumi



Rumah itu bernama bumi. Di mana aku mulai melangkahkan kakiku di dunia literasi. Walaupun sebelumnya juga pernah mengikuti grup yang serupa, namun di bumi ada banyak hal yang berbeda.

Rumah itu bernama bumi, Di mana banyak ilmu  tentang dunia kepenulisan yang aku jumpai. Bagaimana cara menulis dialog yang benar, cara penggunaan kata sambung, kata depan, sebutan orang, dan seabreg tata cara penulisan yang disempurnakan.

Rumah itu bernama Bumi. Di Bumi untuk pertama kalinya tulisanku diapresiasi. 
Diapresiasi dengan cara dibedah dengan komentar-komentar yang membuat aku semakin melek akan kekurangan dan kesalahan. Ternyata masih banyak yang harus aku perbaiki.

Rumah itu bernama Bumi. Di Bumi baru pertama kali membuat cerita bersambung yang dipublikasi.
Cerita bersambung yang 12 episode  belum juga selesai. Namun di sini aku banyak belajar tentang konsistensi.

Rumah itu bernama Bumi. Di Bumi aku temukan orang-orang yang merasa senasib seperjuangan. Yang setiap malam terkadang harus begadang hanya karena satu alasan ... setoran tulisan.

Di bumi ... adalah sebuah rumah bagiku, di sana ada persahabatan, ada persaudaraan, ada coletahan, ada canda, ada tawa, (mungkin) juga ada cinta.

Di bumi aku tumbuh dan berkembang. Layaknya sebuah biji yang memerlukan pupuk, tanah yang subur, cukup air dan sinar matahari. Di sini, aku biji itu mendapatkan semua itu.

Terimakasih buat para peje atas ilmu dan pendampingannya. Mas Suden, Mbak Wiwid, Mbak Nisya dan mbak Lia ... sungguh kalian luar biasa. Mohon maaf dan terimakasih banyak untuk teman-teman penghuni rumah Bumi semuanya. Karena kalian semuanya, bumi menjadi begitu berwarna. 



NB : Sebenarnya ingin di postingan kali ini, ada poto-poto penduduk Bumi.

Tantangan bunsay level9 "Be creative" Day 1

Sudah setahun ini, kami tinggal di desa, di rumah ibu. Kami akui segala sesuatu pasti ada sisi negatif maupun positifnya. Sisi positifnya, anak-anak menjadi lebih dekat dengan alam. terutama Uwais, anak kedua kami, yang kecerdasan naturalisnya sangat menonjol. Namun sisi negatifnya salah satunya adalah tentang kedisiplinan. Dulu waktu kami tinggal mandiri, di Surabaya ataupun di Bekasi, anak-anak sudah mempunyai jadwal dan mereka mematuhinya. Misal bahwa melihat televisi atau bermain gawai ada batas waktunya. Namun di sini, kedispilinan itu mulai longgar. bermain gawai ataupun gadget tak seketat dulu. Gawaiku dan gawai ayahnya memang tidak kami kasih game. Namun gawai nenek dan Kakeknya? itulah yang terkadang menjadi kendala kami dalam menerapkan nilai kedisplinan yang dulu sudah kita sepakati.

Dulu lihat televisi hanya boleh sehari cuma 2 jam. Waktu terserah mereka, asal tidak menganggu waktu prioritas, misal waktu ngaji atau belajar. Namun sekarang anak-anak lebih bebas dan jadwal menonton televisinya jauh lebih lama dari kesepakatan. ada beberapa titik televisi juga membuat kendala.

Oleh karena itu, melalui tantangan game level 9 ini, saya akan berusaha mengalihkan perhatian Uwais dan Fatir, terutama, dari kebiasaan menonton televisi yang berlama-lama dengan melakukan aktifitas yang menarik dan kreatif.

Hari pertama di game level 9 ini saya telah mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk aktifitas yang akan kami lakukan bersama. Saya membeli beberapa perlengkapan menggambar dan crayon. biasanya waktu melihat televisi adalah pagi hari ketika saya masih sibuk dengan aktivitas rumah. Maka pagi ini uwais dan Fatir mulai mewarnai gambar yang sudah dibuat ayahnya tadi malam. Rizwan yang hari ini tidak masuk sekolah akhirnya ikut nimbrung juga.



Ketika Wais mewarnai sebuah gunung merapi, yang puncaknya ada warna merah, coklat dan hijau saya tanya kenapa demikian, Dia menjawab bahwa merah adalah lahar panasnya, hijau melambangkan tumbuhan dan coklat adalah tanah.


#TantanganLevel9
#KelasBunsay
#BeCreative
#Day1

Selasa, 20 Maret 2018

Diorama Cinta part12



Kukenakan gamis tosca dengan kerudung warna senada. Hari ini aku akan menghadiri acara reuni di kampusku dulu. Sebelum Haifa datang menjemputku, aku layangkan pesan WhatsApp ke nomer mas Bram. 

Mas ... pagi ini aku ke kampus ya? Mau reuni. Ijinku yang memang terkesan bukan sebuah ijin namun lebih kepada pemberitahuan. Sambil menunggu balasan, aku menuju ke dapur. Aku buka jendelanya, aku tengok ke pekarangan, aku cari di mana sosok dua ekor burung gereja. Namun lagi-lagi aku kecewa. Burung gereja itu lagi-lagi cuma sendiri. 

Gawaiku berbunyi, Aku lihat ke layarnya, ada sebuah panggilan masuk, dari mas Bram. 

“Assalamualaikum.” 

“Wa’alaikumsalam.” 

“Mau pergi dengan siapa?” 

“Sama Haifa mas.” 

“O ya udah, hati-hati ya?” 

“Iya mas.” 

“Gimana kamu sehat kan?” 

Aku tak menjawab pertanyaan itu, air mataku mengalir. 

“Fania ...?” 

“Iya mas, aku sehat, aku baik-baik saja kok!” Aku seka air mataku, aku berusaha menjawab pertanyaan itu dengan nada suara yang seperti biasanya. 

“Alhamdulillah. Oiya maaf ya Fania, akhir-akhir ini aku sibuk. Jadi jarang menghubungimu.” 

“Iya mas, Fania ngerti kok.” 

“Ya udah kalau begitu, hati-hati di jalan ya! Assalamualaikum.” 

“Iya Mas, Waalaikumsalam.” 

Kini air mataku mengalir lagi, kejadian malam itu diruang dokter terlintas dalam pikiranku. Kata-kata dokter itulah yang membuat pikiranku akhir-akhir ini menjadi kacau. Dan akupun belum ke dokter kandungan seperti yang di rujukkan kepadaku. Bukannya apa-apa, aku cuma takut menghadapi kenyataan jika benar aku mengidap penyakit kanker ovarium. 

Sebuah klakson mobil berbunyi. Itu pasti Haifa, gumamku dalam hati. Aku ambil tas di sofa yang sudah aku persiapkan dari tadi. 

“Hai, Haifa.. ayo langsung  berangkat saja!” Aku temui dia di pekarangan rumah. 

Sampainya di sana, aku lihat sudah banyak yang datang. Begitu juga teman-teman seangkatanku. Kita saling melepas rindu dengan saling berbincang. Haifa yang dari tadi ada di sampingku, kini aku tak tahu kemana dia. Sindy, teman sekelasku, datang dengan menggendong bayi dan suaminya. Anaknya lucu sekali, bayi perempuan dengan memakai baju merah muda dan bando di kepala, cantik sekali. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menimbang bayi, ya ... bayiku sendiri. Lamunanku kian liar kemana-mana. Seandainya aku punya bayi pasti lucu seperti itu. 

“Fania...” Haifa menarik tanganku. 

“Hei ... kemana saja kamu. Ada apa?” 

“Fania ... Faras ingin menemuimu!” 

“Hah, Faras?” aku terperanjat mendengar perkataan Haifa. Bagaimana Faras ada di sini? 

“Fania, Faras baru saja meneleponku, dia menuju kesini.” 

Seketika badanku lemas, aku binggung. Apa yang akan ku katakan kepada Faras? 

“Tenang saja, aku sudah bilang bahwa kamu sudah menikah kok!” Kata Haifa berusaha menenangkanku, sepertinya dia tahu bagaimana kegalauan hatiku. 

Tak berselang lama datanglah Faras dengan mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan celana berwarna hitam. 

“Fania, bisa bicara sebentar?” tanyanya. 

“Bisa, tapi bertiga dengan Haifa, bagaimana?” 

“Ok , tak masalah.” 

Aku tarik tangan Haifa, supaya mengikuti langkah kami. Kami menuju taman di depan gedung perpustakaan. 

“Fania, jujur aku kecewa sekali saat tahu bahwa kamu sudah menikah.” 

Aku diam saja dan tak berani menatapnya. 

“Dulu aku kira kamu akan menungguku hingga aku bekerja, lalu aku akan ke rumahmu, melamarmu,” lanjutnya. 

Aku tarik nafas panjang. Haifa di sampingku juga diam. 

“Ternyata aku salah, aku tahu dari Ridho bahwa kamu sudah menikah. Aku pulang ke Indonesia untuk memastikan apakah benar itu terjadi. Ternyata memang benar begitulah kenyataannya.” 

Ridho adalah teman kita se SMA. Aku tahu aku salah, namun aku juga tak mungkin menolak permintaan ibuku. Aku lihat Faras, namun dia tertunduk lesu. 

“Faras maafkan aku, ini sudah takdir dari Allah.” Kataku dengan setengan berbisik. 

Namun seketika itu, kepalaku pusing, pandanganku menjadi gelap. Sayup-sayup aku dengar Haifa dan Faras memanggil namaku. 





Bersambung ....

Baca Cerita sebelumnya : Diorama Cinta part11 

#TantanganCerbung
#ODOP

Minggu, 18 Maret 2018

Diorama Cinta part11

Baca cerita sebelumnya : Diorama Cinta part10

Haifa mengantarkanku pulang. Di perjalanan aku lebih banyak diam. Tidak banyak obrolan yang kita lakukan. Pikiranku kalut, apakah aku akan bilang sama mas Bram? Bahwa aku dari dokter, dan katanya kemungkinan aku mengidap tumor atau kanker ovarium. Ah, sepertinya belum dulu. Lagipula penyakit ini juga belum pasti. 

“Gimana kata Dokter Fan?” Tanya Haifa memecahkan keheningan kami. memang dari tadi dia aku larang untuk ikut masuk ke ruang dokter. 

“Ah, ga pa-pa, cuma sakit perut biasa.” Alasanku untuk menutupi. 

“Alhamdulillah deh kalau begitu. Tapi kamu yakin, malam ini kamu tak ingin aku menginap di rumahmu?” 

“Ga usah Haifa, aku ga pa-pa kok. Lagian kamu besok kan juga harus ngantorkan? Kalau kamu menginap di rumahku, bisa-bisa besok kamu tidak bisa sampai kantor tepat waktu, terkena macet.” 

“Ya udah deh kalau begitu. Tapi kalau ada apa-apa kamu telepon aku ya?” 

“Iya.” Jawabku. 

“Oiya lusa jadi ikut reuni?” tanyanya. 

“Iya, ikutlah. Kamu jemput aku ya!” 

“Siap tuan putri,” jawabnya. Kamipun terkekeh. 

Tak terasa mobil haifa sudah masuk ke pekarangan rumahku. 

“Makasih ya Fa. Hati-hati di jalan!” Akupun turun dari mobilnya. 

“Aku ga usah turun ya? Udah malam, aku langsung balik.” 

“iya. Hati-hati.” Aku lambaikan tangan. 

“Assalamualaikum.” 

“Waalaikumsalam.” 

Tidak lama mobil suzuki Swift itupun tak terlihat. 

Dengan gontai aku melangkah menuju kamar. Berbagai macam pikiran dan perasaan menghantuiku malam ini. Aku binggung apa yang harus aku lakukan? Aku ambil laptopku, aku browsing tentang kanker ovarium. Mataku tak berkedip saat membaca dengan teliti setiap informasi yang di sajikan di salah satu laman kesehatan. Ya Allah ... kenapa tanda dan gejala kanker ovarium itu sama seperti yang aku alami akhir-akhir ini. Aku menarik nafas panjang, namun serasa susah sekali aku bernafas. Tak terasa air mataku mengalir. Aku teringat Almarhum ayahku, ibuku dan mas Bram, suamiku. Kini aku sendiri disini, meratapi ketakutan akan penyakit ganas yang kemungkinan di tubuhku. Jika memang benar ada tumor atau kanker di ovariumku, apakah aku masih bisa mempunyai anak? Menjadi seorang ibu, menjadi arsitek buat anak-anakku? Air mataku semakin deras mengalir. 



Bersambung ...

Baca cerita selanjutnya : Diorama Cinta part12

Diorama Cinta Part10



Sudah seminggu mas Bram pergi. Rutinitasku pun tak banyak berubah. Seperti pagi ini, setelah memasak aku mencuci piring. Seperti hari-hari sebelumnya aku menantikan pemandangan pagi hari yang selalu kutunggu. Namun ada yang aneh hari ini, burung gereja yang biasanya bertengger di ranting pohon kedondong kini hanya seekor. Yang satunya kemana? Ah ... mungkin sebentar lagi, pikirku. Namun setelah beberapa saat aku tunggu, burung itupun tak pernah hadir. Burung gereja itu  akhirnya terbang sendirian. 

Seketika pikiranku tambah kesepian. Aku sedih bahwa aku tahu burung gereja itu sejatinya sama seperti diriku. Segera aku ambil gawaiku. Biasanya pagi hari mas Bram akan meneleponku atau sekedar WA menanyakan kabarku. Namun aneh pagi ini, gawaiku tidak nampak berita darinya. Ah ... mungkin sibuk, gumamku. 

Apa aku yang harus memulai dulu? Tapi rasanya aku masih gengsi. Ah, entahlah ... itulah aku. Kubiarkan saja, kulihat gawai yang kini berada di atas meja. Kulihat tumpukan piring kotor yang belum aku sentuh. Meskipun tak banyak tapi tak juga aku cuci sejak aku tahu pagi ini tidak ada sepasang burung gereja, hatiku jadi merasa. 

Kini nyeri itu kurasakan lagi, kali ini sakitnya tak bisa aku tahan. Aku binggung hendak menghubungi siapa? Tidak mungkin aku menghubungi ibuku. Ibuku sudah tua untuk bisa naik kendaraan umum ke tempat tinggalku. Kini siapa lagi yang bisa kuhubungi? Mas Bram ... ah rasanya tak mungkin. Jika aku menelepon mas Bram, malah membuat dia semakin kepikiran. Hingga akhirnya kutahan sakit ini sampai malam hari. 

Haifa sudah pulang kantor? Tolong ke rumah sebentar ya! 

Ku kirim pesan itu ke pada sahabatku, Haifa. Aku tunggu balasan darinya. Dan akhirnya gawaiku pun berbunyi. 

Iya, tunggu ya sebentar lagi. 

Tidak lama setelah itu, bel rumahku berbunyi. Aku yakin itu pasti Haifa, sahabatku. Aku ambil kerudungku dan menuju ke pintu depan. 

“Assalamualaikum...” 

“Wa’alaikumsalam ...” 

“Masuk Fa.” Dengan menahan rasa sakit, aku pegangi perutku. 

“Fania, kamu tidak apa-apa? kamu pucat sekali!” tanyanya. 

“Kamu kenapa Fan?” tanyanya lagi. 

“Perut bagian bawahku sakit sekali Haifa, sejak tadi pagi.” Sambil meringis ku jawab pertanyaanya. 

“Kita kedokter ya?” 

Aku jawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. 

Di perjalanan haifa mengemudikan mobilnya dengan cepat bahkan bisa dibilang ngebut. Aku tahu dia sangat panik melihat kondisiku. 

“Pelan-pelan Fa, aku gak papa ko,” kataku. Agar dia tidak mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. 

“Iya, kamu tenang saja, bentar lagi nyampe.” 

Setelah mengantri akhirnya tiba giliranku memasuki ruang praktek dokter. 

“Malam mba! Sakit apa? Tanya dokter itu kepadaku?” 

“ini dokter perut di bagian bawah sakit sekali!” 

“Sering begini?” 

“Iya Akhir-akhir ini.” 

“Menstruasinya lancar?” 

“Enggak dokter.” 

“Coba saya periksa dulu ya?” 

Akupun tidur di tempat tidur yang sudah disediakan. 

“Maaf saya periksa perutnya ya?” 

Aku buka bajuku, aku perlihatkan perutku. 

“Loh, kok perutnya kelihatan agak besar ya? Mbak sudah menikah?” 

“Sudah dokter.” 

“Apa hamil?maksud saya apa pernah di tesk pack kalau hamil?” 

“Ah, ga mungkin lah dokter. Sekarang saya sedang menstruasi kok.” 

Dokter itu kini kembali ke tempat duduknya. Aku pun mengikuti. 

“Ini saya kasih rujukan untuk periksa ke dokter kandungan saja. Nanti biar disana diadakan pemeriksaan lebih lanjut.” 

“Maaf dokter, sebenarnya saya sakit apa?” 

“Kalau diagnosa saya, saya curiga, kalau tidak tumor ya kanker di ovarium. Tapi ini masih diagnosa sementara. Semoga tidak demikian ya!” kata dokter itu berusaha menghiburku. 

Seketika itu badanku lemas, seperti aku tidak mempunyai tulang untuk menyangga tubuhku. Ya Allah lindungi hamba dari penyakit yang berbahaya, doaku dalam hati.


Bersambung ... 

Diorama Cinta Part9

Tiang Negara


Sepulang liburan kami dari Aceh, kini aku benar-benar merasa kesepian. Mas Bram pagi ini juga berangkat ke Singapura. Itu berarti selama sebulan ke depan aku akan sendirian di rumah ini. Aku termenung di jendela dapurku, seperti hari-hari biasanya ada dua ekor burung gereja di sana. Mereka sangat akrab sekali, jujur membuatku menjadi iri. 

Aku binggung mau ngapain, kumainkan saja gawaiku. Grup teman-teman kuliahku sedang membahas tentang reuni akbar di kampus. Ya ... mungkin ada baiknya nanti aku hadir, untuk sedikit mengobati kesepianku.  Beberapa dari mereka akan datang dengan membawa anak, meskipun ada juga yang belum menikah, seperti Haifa. Aku akan datang ke acara reuni itu tanpa anak dan suami. Sekarang aku merasa kesepian mungkin juga karena belum ada momongan, tidak ada canda tawa, tangis anak kecil dirumahku. 

Lalu Tiba-tiba aku teringat perkataan mas Bram pagi itu, bahwa sejatinya tugas utama seorang ibu adalah mendidik anak-anaknya, kurang lebih begitu. Aku jadi teringat sebuah buku yang ditulis oleh Buya Hamka yang kapan hari pernah aku beli dari toko buku langgananku. 

“Jika perempunnya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tiangnyalah yang lapuk.” Buya Hamka dalam bukunya Berbicara Tentang Perempuan. 

Tapi tunggu ... kenapa tanda-tanda aku akan menjadi seorang ibu juga belum terlihat. Aku lihat kalender di dinding. Biasanya aku menstruasi di akhir bulan, kenapa ini malah maju? Ah memang dari dulu siklus menstruasiku tak patuh jadwal. Seketika itu nyeri di perutku kambuh. Ya ... aku sering sekali mengalami nyeri ini. Selama ini memang tidak pernah aku periksakan ke dokter. Karena aku pikir paling juga karena kecapekan. Aku mudah sekali merasa kecapekan akhir-akhir ini. 

Gawaiku berbunyi, sebuah panggilan telepon masuk. 

“Assalamualaikum.” Sapaku, setelah aku tahu siapa yang sedang meneloponku. 

“Ada apa Haifa? Tumben telepon aku di jam kerja?” 

“Ga ada apa-apa Fan, Cuma mau bilang sama kamu, bahwa aku tadi pagi ketemu sama Faras. “ 

“Trus?” tanyaku dengan penasaran. 

“Faras nanyain kamu, dia tanya alamat rumahmu.” 

“Lalu kamu kasih?” 

“Enggaklah, aku bilang kamu sekarang sedang ke luar kota.” 

“Syukurlah ....” 

Lega rasanya tahu kalau Faras tidak akan ke rumah. Apalagi kondisinya sekarang mas Bram sedang tidak ada di sini. 

“Haifa ... Aku jadi ikut reuni ya! Nanti kamu jemput aku ya!” 

“Iya ... ya nanti aku kerumahmu.”
Kami, aku, Haifa dan Faras dulunya adalah satu SMA. Haifa tahu bagaimana hubunganku dengan Faras. Aku yang mempunyai prinsip untuk tidak pacaran kala itu, akhirnya menolak Faras dengan sopan. Aku katakan sama Faras bahwa aku tidak mungkin pacaran. Jika kamu memang serius denganku, nanti saja jika aku dan kamu sudah siap untuk menikah, kamu kerumah untuk melamarku. Setelah kami lulus, aku dan Faras memutuskan kuliah di kota yang berbeda. Sejak saat itu aku tidak pernah berkomunikasi dengannya. 

Bersambung ... 

Diorama Cinta Part8



Pulau Rubiah menjadi pilihan destinasi liburan kami selanjutnya. Pulau ini sekitar 23,5 Kilometer dari pulau Weh. Pulau Rubiah terkenal dengan pemandangan alam kerajaan bawah laut nya. Keadaan alam bawah laut yang masih asri dan alami dengan berbagai macam biota laut yang hidup. Mas Bram yang hobi dengan diving tak menyianyakan kesempatan ini. Air laut di pulau ini sangat bersih dan jernih. Bahkan pengunjung dengan mudah dapat melihat pemandangan bawah laut dari atas permukaan air sampai dengan kedalaman 15 meter. 

Sebelum dia meakukan hobinya, kami naik perahu. Perahu yang dimodifikasi dengan bagian tengahnya dilubangi dan dipasang kaca sehingga kita bisa melihat terumbu karang dan ikan yang berenang , indah sekali. Terkadang angin laut menerpa ujung kerudungku. Mas Bram memengang erat tanganku, kulirik dia dengan hati-hati. Ini adalah moment yang langka buat kami. Kami jarang menghabiskan waktu berdua, karena kesibukan mas Bram dengan pekerjaannya. Bahkan habis menikahpun kita tidak sempat bulan madu. Ya ... bisa dibilang ini adalah bulan madu pertama kami. 

Denyut jantungku berdetak lebih cepat, ada getaran yang tak bisa aku sebutkan, perasaan apa ini. Kulihat wajahnya lekat-lekat. Dia ... bisa dibilang mempunyai wajah yang manis dengan kulit sawo matang, hidung mancung dengan wajah yang bulat sedikit lebih oval. Janggutnya yang ditumbuhi jenggot yang cuma 1 cm membuat wajahnya kelihatan lebih berwibawa. Aku rasa aku mulai suka dengannya, jika belum bisa dibilang jatuh cinta, mungkin bisa dikatakan aku ada di jalan yang menuju kesana. Bukan karena wajahnya yang manis, tapi mungkin lebih karena sikapnya selama ini terhadapku. 

Kini aku mematahkan anggapan bahwa menikah tanpa cinta adalah sesuatu yang susah. Ternyata tidak juga, asal kita memilih pasangan yang tepat. Yang agama dan akhlaknya baik, pasti kita tidak akan kecewa, untuk selebihnya cintapun bisa dipelajari. 

“Seorang lelaki yang sholeh akan tahu bagaimana memperlakukan istrinya. Jika dia mencintaimu maka dia akan menghormatimu. Namun jika dia tidak mencintaimu, maka kamu tidak akan disakiti." Itulah nasehat Haifa saat aku pernah bimbang menerima khitbahnya. 

Seharian bermain di pulau Rubiah akhirnya kami kembali di penginapan. Rasa capek membuat malam ini tanpa rencana. Kami hanya menghabiskan malam di penginapan. Mas Bram asyik dengan bukunya yang ia bawa dari rumah, sedangkan aku melihat televisi sesekali mengintip keluar jendela.

Laut yang memantulkan sinar bulan dan deburan ombaknya yang riang bergemuruh membuat malam ini begitu indah. Sebenarnya ingin sekali menikmati ini semua berlama-lama, namun mata dan tubuhku sepertinya tidak bisa bekerja sama. Ngantuk dan capek sekali rasanya. Aku menuju tempat tidur, disana mas Bram masih asyik dengan bukunya.

“Fania ... bangun, Fania ...” Dengan lembut mas Bram membangunkanku. Kukucek mataku, kulirik jam di dinding. 

“Ada apa Mas? Ini masih pukul 4 pagi!” kataku. 

“Kita sholat tahajud yuk!” ajaknya. 

“ya ... tapi kok tumben mas Bram membangunkanku jam 4? Biasanya jam 3 jadwal tahajud kita kan?” 

“Disini sholat subuhnya agak siangan Fania, sekitar pukul 5 lebih. Setelah sholat subuh kita akan melihat matahari terbit di tanah rencong. Di pulau paling ujung Indonesia.” Sambil tersenyum, dia menatapku. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Mas Bram sudah khusuk di atas sajadahnya. Debur suara ombak menenami kami menghadap Illahi.

Pukul 5.30 pagi 

Mas Bram mengajakku ke pantai. Kulihat cahaya matahari pagi mulai menampakkan sinarnya. Perpaduan cahaya warna merah kekuning-kuningan nampak begitu apik diantara gumpalan awan putih. Ada beberapa burung-burung menyambut pagi dengan kicaunya yang merdu. Nan jauh disana laut itu seperti bersatu dengan langit. Pohon kelapa yang daunnya sekali-kali menari-nari karena hembusan angin nampak begitu gemulai.

“Fania!” 

“Iya.” 

“Aku masih ingat omonganmu tentang jalan hidup wanita setelah menikah tempo hari.” 

Aku mulai menyergitkan dahi, aku coba menebak kemana arah pebicaraan mas Bram. 

“Sebenarnya aku tidak pernah melarangmu melakukan aktivitas apapun, kamu boleh bekerja, kamu boleh main dengan teman-temanmu, kamu boleh melakukan hobimu, kamu boleh menggambar masa depanmu seperti apa yang kamu mau!” mas Bram kini menatap mataku. 

“Semua itu adalah hak mu Fania. Kamu berhak memperjuangkan mimpimu, jika memang mimpi itu belum kamu gapai. Tapi jika aku boleh mengutarakan keinginanku, aku hanya ingin ... kelak jika kita mempunyai anak, aku ingin anak-anakku kamu yang pegang sepenuhnya, kamu yang menjadi arsiteknya mereka. Karena bagiku seorang wanita adalah arsitek sebuah peradaban. Wanita adalah al-madrasatu al-ula, madrasah pertama yang menanamkan akhlak dan kepribadian kepada anak-anak mereka.” Kini dia memegang tanganku. Jujur jantungku berdenyut kencang lagi sekarang. 

“Maksudnya Mas?” 

“Bisa di katakan bahwa perjuanganmu akan dimulai sebentar lagi.” 

Aku hanya terdiam, serasa aku diberi sebuah kepercayaan dan tanggungjawab yang besar, serasa badanku ditindah beban berat. Sedangkan mas Bram membenamkan wajahku di dadanya, dan tubuhku ada dalam pelukannya.



Bersambung .....

Diorama Cinta Part7



Bandara Soekarno-Hatta pukul 08.15 wib 

Kulihat wajah panik mas Bram, dia menarik koper hitam kami dengan tergesa-gesa. Suara petugas bandara telah mengumumkan bahwa pesawat yang kami tumpangi akan segera lepas landas menuju bandara Kuala Namu, Medan, tempat transit sebelum ke Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Dengan langkah kaki panjang, aku coba mengimbangi langkah kakinya. 

Hiruk pikuk orang berlalu lalang, tidak ada seorangpun yang aku kenal. Hingga mataku menatap sesosok pria tinggi kurus memanggil namaku. 

“Fania ... “ 

“Faras?” kuhentikan langkahku. 

“Kamu kenal Fania? Tanya mas Bram. 

“Iya Mas, dia teman SMA ku dulu.”Aku lihat Faras berjalan menuju kami. 

“Faras ..., ini mas Bram, suamiku.” Aku perkenalkan mas Bram kepada Faras. Merekapun berjabat tangan. 

“Maaf Ras kami sedang buru-buru, karena pesawat kami akan take off sebentar lagi,” kataku. Lalu kami tinggalkan Faras yang masih diam terpaku. Ada perasaan lega dalam hatiku, setidaknya aku tertolong dengan situasi ini.

Aku dan mas Bram pun menuju gate 5. Petugas bandara mengecek tiket kami dan kami melewati Security Check Point (SCP) dengan berbagai macam alat detektornya. Setelah melewati pemeriksaan, kami melewati lorong yang panjang. Lowong ini membawa kami ke pintu pesawat. 

Seorang pramugari menyambut kami di sana. Segera aku cari tempat dudukku, 3A tepat di dekat jendela. Aku ambil gawaiku dari tas selempang yang kini ada dipangkuanku. Sebelum aku ganti mode pesawat aku lihat ada pesan WhatsApp disana. 


Fania, kamu tidak banyak berubah. Yang berubah darimu hanya ... statusmu, kini kamu sudah tak sendiri lagi. 


Aku lihat pesan itu tanpa nama. Namun Profile Picture nomer sang pengirim sepertinya sama dengan Profile Picture nomer yang mengirimkan pesan tempo hari. Apakah ini nomer Faras? Segera aku hapus pesan itu dan kumatikan gawaiku. 

*** 

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, meskipun bandara ini tak sebesar bandara Soekarno-Hatta, namun tempat ini memberikan kesan yang lain di hatiku. Arsitektur bangunanya seperti masjid, di tengahnya Ada kubah besar warna hijau. Model bangunan bandara seperti ini pasti sangat langka di Indonesia. 

Atmosfer Aceh yang dijuluki sebagai ‘Serambi Mekkah’ sudah terasa sejak di tempat ini. Aku lihat petugas bandara yang perempuan semua berkerudung, type wajah India dan pakistan. Bahkan pramugarinya juga berkerudung, sejak kami transit di bandara Kuala Namo Medan. Kata bapak supir yang mengantar kami ke pelabuhan Ulee lheue, aturan atau Qonun yang berlaku di sini bahwa semua perempuan harus menggunakan kerudung jika keluar rumah, kecuali anak-anak. Pantas saja tak pernah kujumpai wanita yang tak berkerudung di sepanjang perjalanan. 

Dari pelabuhan Ule lheue kami naik kapal speed boat untuk bersandar di pantai Gapang. Sebenarnya ada beberapa pilihan, bisa menggunakan kapal feri, namun akan memakan waktu yang lebih lama. Sabang sebuah kota kecil yang merupakan nol kilometer dari wilayah Indonesia menyimpan pemandangan yang mempesona. Hamparan laut biru yang jernih dengan deretan pegunanan yang hijau membuat tempat ini begitu eksotis. Penduduknya yang ramah dengan tradisi melayu yang masih sangat kental. Konon pulau ini dulu adalah satu kesatuan dengan daratan Sumatra, karena adanya gempa sehingga mengakibatkan pulau ini terpisah dengan daratan. Begitu juga dengan pulau-pulau di sekitarnya.

Kulihat wajah mas Bram yang kelihatan sudah capek sekali, begitu juga aku. Sejak pagi kami harus menghadapi kemacetan ibu kota menuju bandara dan bahkan hampir ketinggalan pesawat. Kini kami berada di sebuah pulau paling ujung di Indonesia, pulau Weh. Kulirik jam tanganku, sudah hampir pukul 11 malam. Penginapan dengan ornamen yang unik dan menghadap laut membuat liburan kami begitu sempurna. Banyak pohon kelapa di kanan dan kiri penginapan kami. Malam ini kubiarkan tubuhku mendapatkan haknya, kepalaku juga sudah pusing. Aku tutup jendela dan kumatikan lampunya, namun cahaya rembulan masih bisa kulihat dari bilik kamar.



Senin, 12 Maret 2018

Diorama Cinta Part6



Sebenarnya bukannya aku tidak mau pergi kemana-mana sendiri, namun aku memang tak suka. Dulu aku selalu dengan Haifa sahabatku. Namun kini dia sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Kita punya kehidupan sendiri-sendiri sekarang. Pagi ini kususun rencana, bahwa setelah selesai pekerjaan rumah aku akan pergi ke toko buku langgananku. Mungkin aku akan membeli beberapa buku. 

Aku masukkan gawaiku yang tadi malam aku letakkan di meja dekat tempat tidur ke dalam tas selempangku warna biru. Jalanan yang kulalui tak banyak berubah. Pohon-pohon besar dengan trotoar yang lebar membuat para pejalan kaki merasa nyaman. beberapa orang berlalu lalang sibuk dengan gawainya. Aku jadi teringat pesan WA tadi malam. Apa benar pesan itu buatku? Dari siapa? Atau hanya salah kirim? Aku ambil gawaiku dalam tas biruku. Aku lupa bahwa pesan itu sudah aku hapus. Segera aku buang memoriku tentangnya. 

Memoriku kembali ke masa lalu, hari-hari bersama Haifa sahabatku. Memang benar terasa janggal rasanya. Biasanya ada teman mengobrol di sepanjang perjalanan, namun kini aku sendiri. Bukan berarti aku tak bahagia dengan kehidupan baruku namun ada rindu akan masa lalu. Setelah mendapatkan beberapa buku, aku langsung pulang kerumah. 

“Waduh hujan... lupa gak bawa payung lagi!” gumamku dalam hati. Aku biarkan saja air hujan itu membasahi tubuhku. Sesampainya di depan rumah aku cari di mana aku tadi menyimpan kunciku di dalam tas selempang yang kubawa siang itu.

“Aduh kemana ini kuncinya’” gumamku dalam hati. Tapi aneh pintu itu sepertinya tak terkunci. Apa aku yang lupa ya tadi tidak aku kunci? Apa karena rutinitas baruku telah mengorupsi sebagian memoriku? Kubuka perlahan-lahan pintunya, takut ada maling di dalam rumah. 

“Lho Mas, jam segini kok dirumah?” tanyaku. Aku terkejut mas Bram duduk di sofa sambil membaca koran. 

“Lho kamu kok basah kuyup begitu?” Tanyanya yang tidak menjawab pertanyaanku. 

“Iya aku lupa membawa payung. Aku tadi jalan-jalan di luar sebentar ke toko buku langgananku.” 

“Oh ... ya sudah ganti baju sana biar tidak masuk angin. Ada hal penting yang mau aku sampaikan.” 

Tanpa pikir panjang aku segera menuju kamar mandi. Sedangkan mas Bram sejak tadi masih duduk di sofa di ruang keluarga dengan menikmati secangkir tehnya. 

“Fania ... kesini sebentar!” perintah mas Bram ketika dia tahu bahwa aku sudah selesai mandi. 

“Iya mas, sebentar lagi.” Kuletakkan hair dryer di meja riasku. 

“Sini duduk sini!” katanya. Akupun duduk didekatnya. Aku lihat sudah ada dua cangkir teh di meja dan ada kotak sebesar kotak sepatu. 

“Fania, bulan depan aku ada tugas dari kantor untuk mengawal proyek di Singapura. Ya ... mungkin selama sebulan.” Kata-katanya berhenti. Aku lihat dia merilikku. 

“Tapi sebelum kepergianku, aku sudah mengajukan cuti. Kita akan berlibur,” lanjutnya. 

Aku tidak tahu, aku harus senang atau sedih. Di lain sisi aku senang karena kita akan berlibur berdua. Itu berarti kesepianku bisa terobati saat ini. Namun setelah itu, dengan kepergiannya sebulan sama juga dengan membuat kesepianku semakin berkepanjangan. 

“Berlibur kemana?” tanyaku. 

“Coba kamu buka!” mas Bram menunjuk kotak di depanku. Aku buka kotak itu. Sekuntum bunga mawar dan dua tiket pesawat. Aku ambil tiket itu dan aku baca dengan teliti. 

“Banda Aceh?” 

“Iya kita akan ke pulau Weh, di sana alamnya masih asri dan sangat indah. Kita mulai petualangan kita dari ujung Indonesia, dari Sabang.” 


Baca Cerita sebelumnya : pesan WhatsApp

#tantanganCerbung
#ODOP
#OneDayOnePost





Sabtu, 10 Maret 2018

Cerbung Part5

Pesan WhatsApp


”Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ... Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ....” Kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, pertanda bahwa berakhirnya sholat isya’ku. Aku panjatkan doa dan wirid selesai sholat. Belum selesai lantunan doaku, kudengar seseorang mengucapkan salam. 

“Assalamualaikum ...Fania?” Jelas itu adalah suaranya mas Bram. 

“Waalaikumsalam...” jawabku. Aku bangkit dari sajadah, aku sambut suamiku. 

“Sudah sholat Mas?” Sambil kucium tangannya. 

“Sudah ... tadi di jalan terdengar Adzan, lalu mampir ke Masjid.” Jawabnya sambil tangan kirinya mengusap kepalaku.

Aku lipat sajadahku yang masih tergeletak di lantai. Aku duduk di tempat tidur sedangkan Mas Bram melangkah menuju kamar mandi. 

Sejak pertemuanku dengan Haifa, membuat akhir-akhir ini aku tidak bisa berkosentrasi. Kata-katanya telah meracuni pikiranku. Bukannya aku takut menjadi Zombie, tidak. Namun mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa aku sekarang jarang bersosialisasi. Hal ini sangat kontras dengan kehidupanku dulu sebelum menikah. Aku orang yang paling tidak betah berdiam diri di rumah.

Waktu kuliah aku mengikuti banyak kegiatan di kampus, bahkan sejak SMA aku suka camping dan mendaki gunung bersama teman-teman pramukaku. Kini kehidupan yang kujalani bertolak belakang, sehari-hari melakukan pekerjaan rumah tangga, bersantai dengan melihat televisi atau membaca buku. Sehari dua hari masih oke, namun jika terjadi hampir dua bulan, pasti membuatku bosan. 

“Loh kok masih pake mukenanya? pake acara ngelamun lagi,” kata mas Bram keluar dari kamar mandi. Bau sabun sangat wangi dari tubuhnya. 

“Fania ...kok ngelamun?mikirin apa?” tanyanya lagi karena tidak mendapatkan respon dariku. 

“Oh ... hehehe,” sambil tersenyum kuperlihatkan gigiku. Aku lepas mukenaku dan melipatnya. 

“Oh iya mas, Haifa kemarin ke rumah?”Sambil kuubah posisi dudukku lebih menghadap kepadanya. 

“Trus?” Tangannya kini membetulkan poniku yang hampir menutupi mata. 

“Dia mengantarkan undangan reuni kampus.” 

“Wah ... bagus. Coba kamu ikut, biar gak bosan dengan rutinitas di rumah,” katanya. 

“Kapan acaranya?” tanyanya . 

“Bulan depan.” 

“Wah masih lama ya?” tanyanya lagi. Aku menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. 

“Maaf Fania, mungkin waktuku tidak banyak dirumah. Mungkin membuatmu kesepian. Kamu boleh kok jalan-jalan ke toko buku atau ke mall buat belanja. Asal hati-hati dan kamu bisa menjaga diri.” Kini dia menatapku dengan senyuman. Kubalas senyumannya dengan sebuah senyuman juga. 

Tit tit tut bunyi notifikasi WhatsApp di gawaiku berbunyi. 

Assalamualaikum. Gimana kabarnya? Aku dengar kamu sudah menikah ya?

Bunyi pesan WhatsApp itu di layar gawaiku. Dari sebuah nomer yang tidak aku kenal. "Ah ... paling juga salah kirim!" gumamku dalam hati. Kuhapus pesan itu dan ku letakkan kembali gawaiku di meja dekat  tempat tidur.


Bersambung ...

Baca cerita sebelumnya : Burung Gereja




#TantanganCerbung #cerbung10Episode
#ODOP
#OnedayOnePost

Jumat, 09 Maret 2018

Cerbung part4


Burung Gereja

Kulihat kalender di dinding, jariku mulai menghitung hari pernikahan kami dan berhenti di hari ini. Sudah 42 hari aku menjadi seorang istri. Kini hari-hariku lebih banyak aku habiskan dirumah. Nyaris tak pernah keluar kecuali membeli sayur atau diajak mas Bram untuk sekedar makan malam di luar. Selebihnya aku hanya berkutat di kasur, dapur dan sumur, itu kalau istilah orang Jawa. 

Pagi ini seperti biasa, pagi hari di mulai dengan membuat sarapan. Kini memasak tidak lagi menjadi “hantu” bagi diriku semenjak peristiwa kalung dan liontin itu. Acara memasak di televisi sudah aku lihat lagi, pembawa acaranya tidak lagi aku benci, jika grup WA membahas masalah masakan maka aku sesekali juga berkomentar, meskipun terkadang hanya berupa emoji. Terkadang aku suka tersenyum sendiri, ternyata hatiku mudah sekali di suap, hanya diberi hadiah saja bisa langsung hilang marahnya dan luluh. Sebenarnya bukan masalah hadiahnya, bukan masalah kalung dan liontin itu. Tapi lebih kepada sikap mas Bram yang mau meminta maaf dan mengerti perasaanku, itu jauh dari hadiah tadi. Ternyata sederhana sekali ya mau seorang wanita, cuma ingin dimengerti. hehehehe 

Pagi ini setelah memasak untuk sarapan dan Mas Bram sudah berangkat kerja, rutinitas berikutnya adalah mencuci piring dan membersihkan rumah. Jendela yang berada tepat di atas westafel cuci piring itu aku buka. Pandanganku menatap jauh kedepan, melihat tanaman di  halaman belakang rumahku. Rumputnya kini kelihatan panjang dan ada beberapa rumput liar yang harus segera dicabut biar tidak semakin mengintimidasi rumput yang sengaja aku tanam. Bunga-bunganya kelihatan ceria sekali dengan warna-warninya. Daunnya yang terkadang menari ke kanan dan ke kiri ketika tertiup angin sepoi-sepoi. Nampak ada seekor burung disana, yang sedang mematuki sesuatu di rumput, seperti sedang mencari makan. Lalu terbang keranting pohon kedondong.Tidak lama setelah itu, seekor burung mendatanginya. Lalu mereka berdua terbang tinggi entah kemana. 

Pemandangan seperti ini yang aku nantikan setiap pagi. Adegan kedua burung itu selalu menjadi adegan favoritku. Mereka selalu saja berdua. Ketika  baru seekor burung yang datang, tak lama kemudian seekor lagi menghampiri. Seperti membisikan sesuatu lalu mereka terbang. Mereka akan saling bersiul bersahutan sambil mengepakkan sayapnya. 

Seketika itu aku mendengar suara yang arahnya dari pintu rumahku. 

Tok ... tok ... tok. 

“Assalamualaikum.” Terdengar suara seseorang di balik pintu. Dengan buru-buru, kubersihkan tanganku dan kumatikan kran airnya. 

“Wa’alaikumsalam,”jawabku. Dengan setengah berlari aku menuju ke ruang tamu. kubuka pintunya. 

“Hai ... Fania!” Seorang gadis disana, dan aku kenal betul dengan wajah itu. 

“Ya Allah Haifa, tumben kok kerumah?” sambil kusalami dan kupeluk sahabatku itu. 

“Ayo masuk!” Kupersilakan dia untuk masuk kedalam rumah. Lalu dia duduk di pojokan sofa. 

“Gimana kabarnya? Sejak pernikahanku, kita belum pernah ketemukan lagi kan?” tanyaku. 

“Idih... kamu itu yang menghilang. Di telepone gak pernah diangkat, di WA di read doank. Gak pernah nongol saat anak-anak pada kumpul. Di grup WA juga seringnya Cuma silent reader. Kamu kemana aja Nyonya.Bramatyo? kamu dipingit sama suamimu ya?” kata-katanya tanpa jeda, nyaris membuat aku tidak bisa menjawab pertanyaannya untuk membela diri. 

“Sebentar,Mas Bram ... baik kan orangnya? Maksudku tidak ada KDRT dalam rumah tangga kalian?” tanyanya sambil menyipitkan matanya penuh curiga, seperti meminta penjelasan dariku. 

“Haduh ... kamu itu ya kebanyakan lihat sinetron, pikirannya jadi drama begitu. Aku baik-baik saja kok, seperti kamu lihat sekarang.” Kataku membela diri. 

Haifa bangkit dari tempat duduknya. Diperhatiankan aku dari kepala hingga kaki. Tidak puas sampai disitu, dia memutar mengelilingiku. 

“Ya ... ya... tak ada tanda-tanda kekerasan,” katanya sambil menganggukkan kepalanya. 

“Habis kamu gak ada kabar gitu. Aku kan khawatir sama kamu. Gimana enak gak menikah. Jadi seorang istri gimana?” tanyanya dengan antusias sambil mendekatkan wajahnya di wajahku. 

“Ih ... kepo, makanya segera menikah biar tahu gimana rasanya menikah dan jadi istri.” Kataku yang tak mau kalah oleh tindakan intimidasinya. 

“Kamu mau minum apa? Mau yang dingin apa yang hangat?” Tanyaku sambil berjalan menuju ke dapur. 

“Gak usah Fan, aku Cuma sebentar kok. Aku hanya mengantarkan undangan reuni akbar bulan depan di kampus. Ya ... Sengaja aku antar saja kerumahmu. Habis kalau aku WA takut gak kamu baca.” 

“Oh ... reuni itu? iya aku pernah lihat di grup WA.” 

“Iya ... kamu datang ya! Biar gak suntuk dirumah terus. Kumpul-kumpul sama teman-teman. Kalau kelamaan jadi istri yang kerjanya di rumah terus bisa-bisa kamu seperti mayat hidup, Zombie Hiii . Tak punya semangat hidup.” Katanya yang mencoba menakutiku. 

“Ngaco kamu ..., kamu itu yang harusnya cepat menikah biar pikirannya gak drama gitu, ngawur.”Dan kamipun tertawa bersama. 


Bersambung ....

Baca Cerita sebelumnya :Liontin Hati



#TantanganCerbung
#Cerbung10Episode
#ODOP
#OneDayOnePost



Cerbung Part3

Baca Cerita Sebelumnya : Cerbung Part2

Liontin Hati

Semenjak tragedi sayur lodeh itu, aku menjadi tidak bersemangat dengan apapun yang berbau masakan. Bahkan acara memasak di televisi yang biasa aku tonton, yang sebenarnya tidak berdosa pun terkena dampaknya, aku jadi hater pembawa acaranya. Iklan tentang masakan langsung aku ganti channelnya. Obrolan grup di WA mengenai masakanpun langsung aku clear chat. Aku muak sekali dengan semua hal berbau masakan. Bahkan mas Bram, suamiku, bercerita bahwa hari ini dia ditraktir koleganya makan di restaurant America yang menghidangkan makanannya tanpa piring juga jadi sasaran kemarahanku. Seketika itu mimik mukaku berubah. Kurubah posisi dudukku, tanda aku menarik diri. Dan mas Bram sepertinya memperhatikan perubahan sikapku.

Setiap pagi aku hanya memasak makanan yang sederhana, nasi goreng atau sarden itupun jika mas Bram ingin sarapan nasi. Namun jika tidak, maka aku hanya menyediakan roti dan selai. Sedangkan siang dan malam, dia jarang sekali makan dirumah. Karena sampai rumah biasanya habis isya'.

Sebenarnya bukan masalah masakan, masakan tidak salah apa-apa. Masakan hanya menjadi kambing hitam atas kejadian pagi itu. Sebenarnya aku hanya kecewa dengan sikap Mas Bram. Kenapa kaum laki-laki tidak bisa untuk basi-basi? Bukankah kebohongan pasangan suami istri juga diperbolehkan dalam islam jika itu untuk kebaikan? 

Sebenarnya sejak pernikahan kami, nyaris tidak ada keributan yang berarti. Mas Bram orangnya sangat baik. Beliau lebih banyak ngemong aku yang terkadang masih suka kekanak-kanakan, yang lebih banyak mengalah ketika kami bertengkar. Dan pertengkaran kami pemicunya pasti hanya hal-hal yang sepele, terkadang hanya masalah cara berkomunikasi. Salah satunya masalah sayur lodeh yang keasinan itu, itupun menurutku. Tapi sebenarnya Mas Bram orangnya sangat romantis, seperti yang terjadi pagi ini. 

“Fania ...?” 

“Iya Mas?” 

“Tolong ambilkan barangku di dalam tas,” katanya. Dengan buru-buru kuturuti saja perintahnya. Aku temukan kotak kecil yang dibungkus kertas kado warna merah muda. 

“Yang dibungkus kertas kado ini Mas?” 

“Iya ... Tolong bawa kesini ya!” 

“Ini,” sambil kusodorkan bungkusan itu. 

“Tolong kamu buka.” Katanya sambil mengancingkan kancing di lengan bajunya. 


Akupun melihatnya, dia seperti tidak begitu peduli. Sebenarnya bungkusan apa sih ini. Bentuknya seperti kado. Kado dari siapa? Lalu mengapa aku yang disuruh membukanya? Berbagai macam pertanyaan masih bermuculan di benakku. Hingga bungkusan itu telah telanjang dari bungkusnya. Kotak kecil berwarna merah, kotak perhiasaan. Dan setelah aku buka ternyata sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati warna merah jambu. 


“Waow ... cantik banget, punya siapa ini Mas?” tanyaku. Sambil kulihat dia yang sedang memperhatikan ekspresiku melihat kalung dan liontin di tanganku. Senyum mengembang di wajahnya. 

“Ya... Buat kamu Fania!”jawabnya. 

“Buat aku? Yang benar Mas? “ 

“Iya buat kamu.” 

“Tapi ... Mengapa ada hadiah hari ini? Hari ini bukan hari ulang tahunku.” Aku berusaha mengingat-ingat kejadian penting lain yang terjadi di tanggal ini, namun tidak juga aku temukan. 

“Selamat hari perempuan Fania ... Semoga kamu menjadi perhiasan paling indah yang kumiliki di dunia ini.” Sambil mengambil kalung itu dan memasangnya di leherku.

Aku tidak tahu harus berkata apa, seketika badanku seperti beku, mulutku kaku. 

“Ini juga sebagai permintaan maafku karena kata-kataku  kemarin, yang telah menyinggung perasaanmu.” 


“Kata-kata yang mana?” Aku mengernyitkan dahi. 

“kemarin aku bilang bahwa sayur lodehnya keasinan, maaf ya!” 

Akupun tersenyum, tersipu malu tepatnya. Ternyata Mas Bram tau perasaan yang ku rasakan. Ternyata dia mengamati mimik mukaku, sikap dinginku pagi itu dan gerak gerikku selama ini. Lalu aku hanya mengangguk dan tersenyum. 



Bersambung ....

Baca Cerita Selanjutnya : Burung Gereja

#tantanganCerbung  #10Episode 
#ODOP
#OneDayOnePost