Minggu, 18 Maret 2018

Diorama Cinta Part9

Tiang Negara


Sepulang liburan kami dari Aceh, kini aku benar-benar merasa kesepian. Mas Bram pagi ini juga berangkat ke Singapura. Itu berarti selama sebulan ke depan aku akan sendirian di rumah ini. Aku termenung di jendela dapurku, seperti hari-hari biasanya ada dua ekor burung gereja di sana. Mereka sangat akrab sekali, jujur membuatku menjadi iri. 

Aku binggung mau ngapain, kumainkan saja gawaiku. Grup teman-teman kuliahku sedang membahas tentang reuni akbar di kampus. Ya ... mungkin ada baiknya nanti aku hadir, untuk sedikit mengobati kesepianku.  Beberapa dari mereka akan datang dengan membawa anak, meskipun ada juga yang belum menikah, seperti Haifa. Aku akan datang ke acara reuni itu tanpa anak dan suami. Sekarang aku merasa kesepian mungkin juga karena belum ada momongan, tidak ada canda tawa, tangis anak kecil dirumahku. 

Lalu Tiba-tiba aku teringat perkataan mas Bram pagi itu, bahwa sejatinya tugas utama seorang ibu adalah mendidik anak-anaknya, kurang lebih begitu. Aku jadi teringat sebuah buku yang ditulis oleh Buya Hamka yang kapan hari pernah aku beli dari toko buku langgananku. 

“Jika perempunnya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tiangnyalah yang lapuk.” Buya Hamka dalam bukunya Berbicara Tentang Perempuan. 

Tapi tunggu ... kenapa tanda-tanda aku akan menjadi seorang ibu juga belum terlihat. Aku lihat kalender di dinding. Biasanya aku menstruasi di akhir bulan, kenapa ini malah maju? Ah memang dari dulu siklus menstruasiku tak patuh jadwal. Seketika itu nyeri di perutku kambuh. Ya ... aku sering sekali mengalami nyeri ini. Selama ini memang tidak pernah aku periksakan ke dokter. Karena aku pikir paling juga karena kecapekan. Aku mudah sekali merasa kecapekan akhir-akhir ini. 

Gawaiku berbunyi, sebuah panggilan telepon masuk. 

“Assalamualaikum.” Sapaku, setelah aku tahu siapa yang sedang meneloponku. 

“Ada apa Haifa? Tumben telepon aku di jam kerja?” 

“Ga ada apa-apa Fan, Cuma mau bilang sama kamu, bahwa aku tadi pagi ketemu sama Faras. “ 

“Trus?” tanyaku dengan penasaran. 

“Faras nanyain kamu, dia tanya alamat rumahmu.” 

“Lalu kamu kasih?” 

“Enggaklah, aku bilang kamu sekarang sedang ke luar kota.” 

“Syukurlah ....” 

Lega rasanya tahu kalau Faras tidak akan ke rumah. Apalagi kondisinya sekarang mas Bram sedang tidak ada di sini. 

“Haifa ... Aku jadi ikut reuni ya! Nanti kamu jemput aku ya!” 

“Iya ... ya nanti aku kerumahmu.”
Kami, aku, Haifa dan Faras dulunya adalah satu SMA. Haifa tahu bagaimana hubunganku dengan Faras. Aku yang mempunyai prinsip untuk tidak pacaran kala itu, akhirnya menolak Faras dengan sopan. Aku katakan sama Faras bahwa aku tidak mungkin pacaran. Jika kamu memang serius denganku, nanti saja jika aku dan kamu sudah siap untuk menikah, kamu kerumah untuk melamarku. Setelah kami lulus, aku dan Faras memutuskan kuliah di kota yang berbeda. Sejak saat itu aku tidak pernah berkomunikasi dengannya. 

Bersambung ... 

2 komentar: