Minggu, 18 Maret 2018

Diorama Cinta Part7



Bandara Soekarno-Hatta pukul 08.15 wib 

Kulihat wajah panik mas Bram, dia menarik koper hitam kami dengan tergesa-gesa. Suara petugas bandara telah mengumumkan bahwa pesawat yang kami tumpangi akan segera lepas landas menuju bandara Kuala Namu, Medan, tempat transit sebelum ke Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Dengan langkah kaki panjang, aku coba mengimbangi langkah kakinya. 

Hiruk pikuk orang berlalu lalang, tidak ada seorangpun yang aku kenal. Hingga mataku menatap sesosok pria tinggi kurus memanggil namaku. 

“Fania ... “ 

“Faras?” kuhentikan langkahku. 

“Kamu kenal Fania? Tanya mas Bram. 

“Iya Mas, dia teman SMA ku dulu.”Aku lihat Faras berjalan menuju kami. 

“Faras ..., ini mas Bram, suamiku.” Aku perkenalkan mas Bram kepada Faras. Merekapun berjabat tangan. 

“Maaf Ras kami sedang buru-buru, karena pesawat kami akan take off sebentar lagi,” kataku. Lalu kami tinggalkan Faras yang masih diam terpaku. Ada perasaan lega dalam hatiku, setidaknya aku tertolong dengan situasi ini.

Aku dan mas Bram pun menuju gate 5. Petugas bandara mengecek tiket kami dan kami melewati Security Check Point (SCP) dengan berbagai macam alat detektornya. Setelah melewati pemeriksaan, kami melewati lorong yang panjang. Lowong ini membawa kami ke pintu pesawat. 

Seorang pramugari menyambut kami di sana. Segera aku cari tempat dudukku, 3A tepat di dekat jendela. Aku ambil gawaiku dari tas selempang yang kini ada dipangkuanku. Sebelum aku ganti mode pesawat aku lihat ada pesan WhatsApp disana. 


Fania, kamu tidak banyak berubah. Yang berubah darimu hanya ... statusmu, kini kamu sudah tak sendiri lagi. 


Aku lihat pesan itu tanpa nama. Namun Profile Picture nomer sang pengirim sepertinya sama dengan Profile Picture nomer yang mengirimkan pesan tempo hari. Apakah ini nomer Faras? Segera aku hapus pesan itu dan kumatikan gawaiku. 

*** 

Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, meskipun bandara ini tak sebesar bandara Soekarno-Hatta, namun tempat ini memberikan kesan yang lain di hatiku. Arsitektur bangunanya seperti masjid, di tengahnya Ada kubah besar warna hijau. Model bangunan bandara seperti ini pasti sangat langka di Indonesia. 

Atmosfer Aceh yang dijuluki sebagai ‘Serambi Mekkah’ sudah terasa sejak di tempat ini. Aku lihat petugas bandara yang perempuan semua berkerudung, type wajah India dan pakistan. Bahkan pramugarinya juga berkerudung, sejak kami transit di bandara Kuala Namo Medan. Kata bapak supir yang mengantar kami ke pelabuhan Ulee lheue, aturan atau Qonun yang berlaku di sini bahwa semua perempuan harus menggunakan kerudung jika keluar rumah, kecuali anak-anak. Pantas saja tak pernah kujumpai wanita yang tak berkerudung di sepanjang perjalanan. 

Dari pelabuhan Ule lheue kami naik kapal speed boat untuk bersandar di pantai Gapang. Sebenarnya ada beberapa pilihan, bisa menggunakan kapal feri, namun akan memakan waktu yang lebih lama. Sabang sebuah kota kecil yang merupakan nol kilometer dari wilayah Indonesia menyimpan pemandangan yang mempesona. Hamparan laut biru yang jernih dengan deretan pegunanan yang hijau membuat tempat ini begitu eksotis. Penduduknya yang ramah dengan tradisi melayu yang masih sangat kental. Konon pulau ini dulu adalah satu kesatuan dengan daratan Sumatra, karena adanya gempa sehingga mengakibatkan pulau ini terpisah dengan daratan. Begitu juga dengan pulau-pulau di sekitarnya.

Kulihat wajah mas Bram yang kelihatan sudah capek sekali, begitu juga aku. Sejak pagi kami harus menghadapi kemacetan ibu kota menuju bandara dan bahkan hampir ketinggalan pesawat. Kini kami berada di sebuah pulau paling ujung di Indonesia, pulau Weh. Kulirik jam tanganku, sudah hampir pukul 11 malam. Penginapan dengan ornamen yang unik dan menghadap laut membuat liburan kami begitu sempurna. Banyak pohon kelapa di kanan dan kiri penginapan kami. Malam ini kubiarkan tubuhku mendapatkan haknya, kepalaku juga sudah pusing. Aku tutup jendela dan kumatikan lampunya, namun cahaya rembulan masih bisa kulihat dari bilik kamar.



1 komentar: