Minggu, 18 Maret 2018

Diorama Cinta Part8



Pulau Rubiah menjadi pilihan destinasi liburan kami selanjutnya. Pulau ini sekitar 23,5 Kilometer dari pulau Weh. Pulau Rubiah terkenal dengan pemandangan alam kerajaan bawah laut nya. Keadaan alam bawah laut yang masih asri dan alami dengan berbagai macam biota laut yang hidup. Mas Bram yang hobi dengan diving tak menyianyakan kesempatan ini. Air laut di pulau ini sangat bersih dan jernih. Bahkan pengunjung dengan mudah dapat melihat pemandangan bawah laut dari atas permukaan air sampai dengan kedalaman 15 meter. 

Sebelum dia meakukan hobinya, kami naik perahu. Perahu yang dimodifikasi dengan bagian tengahnya dilubangi dan dipasang kaca sehingga kita bisa melihat terumbu karang dan ikan yang berenang , indah sekali. Terkadang angin laut menerpa ujung kerudungku. Mas Bram memengang erat tanganku, kulirik dia dengan hati-hati. Ini adalah moment yang langka buat kami. Kami jarang menghabiskan waktu berdua, karena kesibukan mas Bram dengan pekerjaannya. Bahkan habis menikahpun kita tidak sempat bulan madu. Ya ... bisa dibilang ini adalah bulan madu pertama kami. 

Denyut jantungku berdetak lebih cepat, ada getaran yang tak bisa aku sebutkan, perasaan apa ini. Kulihat wajahnya lekat-lekat. Dia ... bisa dibilang mempunyai wajah yang manis dengan kulit sawo matang, hidung mancung dengan wajah yang bulat sedikit lebih oval. Janggutnya yang ditumbuhi jenggot yang cuma 1 cm membuat wajahnya kelihatan lebih berwibawa. Aku rasa aku mulai suka dengannya, jika belum bisa dibilang jatuh cinta, mungkin bisa dikatakan aku ada di jalan yang menuju kesana. Bukan karena wajahnya yang manis, tapi mungkin lebih karena sikapnya selama ini terhadapku. 

Kini aku mematahkan anggapan bahwa menikah tanpa cinta adalah sesuatu yang susah. Ternyata tidak juga, asal kita memilih pasangan yang tepat. Yang agama dan akhlaknya baik, pasti kita tidak akan kecewa, untuk selebihnya cintapun bisa dipelajari. 

“Seorang lelaki yang sholeh akan tahu bagaimana memperlakukan istrinya. Jika dia mencintaimu maka dia akan menghormatimu. Namun jika dia tidak mencintaimu, maka kamu tidak akan disakiti." Itulah nasehat Haifa saat aku pernah bimbang menerima khitbahnya. 

Seharian bermain di pulau Rubiah akhirnya kami kembali di penginapan. Rasa capek membuat malam ini tanpa rencana. Kami hanya menghabiskan malam di penginapan. Mas Bram asyik dengan bukunya yang ia bawa dari rumah, sedangkan aku melihat televisi sesekali mengintip keluar jendela.

Laut yang memantulkan sinar bulan dan deburan ombaknya yang riang bergemuruh membuat malam ini begitu indah. Sebenarnya ingin sekali menikmati ini semua berlama-lama, namun mata dan tubuhku sepertinya tidak bisa bekerja sama. Ngantuk dan capek sekali rasanya. Aku menuju tempat tidur, disana mas Bram masih asyik dengan bukunya.

“Fania ... bangun, Fania ...” Dengan lembut mas Bram membangunkanku. Kukucek mataku, kulirik jam di dinding. 

“Ada apa Mas? Ini masih pukul 4 pagi!” kataku. 

“Kita sholat tahajud yuk!” ajaknya. 

“ya ... tapi kok tumben mas Bram membangunkanku jam 4? Biasanya jam 3 jadwal tahajud kita kan?” 

“Disini sholat subuhnya agak siangan Fania, sekitar pukul 5 lebih. Setelah sholat subuh kita akan melihat matahari terbit di tanah rencong. Di pulau paling ujung Indonesia.” Sambil tersenyum, dia menatapku. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil air wudhu. Mas Bram sudah khusuk di atas sajadahnya. Debur suara ombak menenami kami menghadap Illahi.

Pukul 5.30 pagi 

Mas Bram mengajakku ke pantai. Kulihat cahaya matahari pagi mulai menampakkan sinarnya. Perpaduan cahaya warna merah kekuning-kuningan nampak begitu apik diantara gumpalan awan putih. Ada beberapa burung-burung menyambut pagi dengan kicaunya yang merdu. Nan jauh disana laut itu seperti bersatu dengan langit. Pohon kelapa yang daunnya sekali-kali menari-nari karena hembusan angin nampak begitu gemulai.

“Fania!” 

“Iya.” 

“Aku masih ingat omonganmu tentang jalan hidup wanita setelah menikah tempo hari.” 

Aku mulai menyergitkan dahi, aku coba menebak kemana arah pebicaraan mas Bram. 

“Sebenarnya aku tidak pernah melarangmu melakukan aktivitas apapun, kamu boleh bekerja, kamu boleh main dengan teman-temanmu, kamu boleh melakukan hobimu, kamu boleh menggambar masa depanmu seperti apa yang kamu mau!” mas Bram kini menatap mataku. 

“Semua itu adalah hak mu Fania. Kamu berhak memperjuangkan mimpimu, jika memang mimpi itu belum kamu gapai. Tapi jika aku boleh mengutarakan keinginanku, aku hanya ingin ... kelak jika kita mempunyai anak, aku ingin anak-anakku kamu yang pegang sepenuhnya, kamu yang menjadi arsiteknya mereka. Karena bagiku seorang wanita adalah arsitek sebuah peradaban. Wanita adalah al-madrasatu al-ula, madrasah pertama yang menanamkan akhlak dan kepribadian kepada anak-anak mereka.” Kini dia memegang tanganku. Jujur jantungku berdenyut kencang lagi sekarang. 

“Maksudnya Mas?” 

“Bisa di katakan bahwa perjuanganmu akan dimulai sebentar lagi.” 

Aku hanya terdiam, serasa aku diberi sebuah kepercayaan dan tanggungjawab yang besar, serasa badanku ditindah beban berat. Sedangkan mas Bram membenamkan wajahku di dadanya, dan tubuhku ada dalam pelukannya.



Bersambung .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar