Jumat, 06 April 2018

Pelita Fajar

14 April 1985 
Malam sunyi, di luar sepi tak ada suara kecuali bunyi jangrik yang memamerkan keindahan nyayiannya. Semilir angin yang berhembus dari selatan,  menyapa ranting pohon mangga, menelisik daun bunga nusa indah, menjatuhkan bunganya yang sudah kering, membuat suhu semakin dingin, lalu semilir angin itu pergi entah kemana. Burung-burung pipit sesekali bercuit-cuit seolah memberikan tanda bahwa pagi akan segera tiba.

Di sebuah kamar kecil berukuran 4 x 3 yang remang-remang, seorang ibu sedang merintih kesakitan. Ibu itu sedang meregang nyawa demi melahirkan buah hatinya ke dunia. Tiga hari sudah merasakan sakit akibat kontraksi yang tak kunjung selesai. Seorang nenek, yang dipanggil dukun bayi waktu itu, masih setia menungguinya sejak tengah malam. Sebuah lampu teplok minyak tanah yang terpasang persis di samping poto pahlawan perempuan dari Aceh, Cut Nyak Dien, apinya menari-nari, siap menjadi saksi akan lahirnya seorang bayi di muka bumi.

Tepat pukul empat pagi, bersamaan dengan kumandang adzan subuh di masjid dekat rumah, anak pertama yang ditunggu-tunggu akhirnya lahir ke dunia. Seorang bayi perempuan dengan panjang 50 cm dan berat 3,4 kg. Tangisan bayi itu seolah menyambut  muadzin yang sedang mengumandangkan seruan-Nya. Bayi perempuan itu diberi nama Dian Fajar.

Dian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah alat untuk menerangi sesuatu atau pelita. Fajar adalah keadaan dalam hari ketika cahaya kemerah-merahan tampak di langit sebelah timur menjelang matahari terbit. Maka Dian Fajar adalah pelita fajar. Selain karena lahirnya waktu fajar, kedua orang tuanya berharap bahwa anak perempuannya nanti bisa menjadi cahaya yang dinanti, memberikan inspirasi kepada banyak orang yang membutuhkan pencerahan, layaknya cahaya fajar yang memulai hari, yang selalu ditunggu oleh orang yang menginginkan datangnya pagi.

*** 


Kini bayi perempuan yang susah dilahirkan itu telah tumbuh  besar. Dibesarkan dalam lingkungan yang sederhana. Bapaknya yang dulu hanya seorang penjaga sekolah, sedangkan ibunya seorang guru SD. Dahulu gaji guru tidak seperti sekarang, tidak ada Tunjangan Profesi Guru (TPG). Maka gaji bulanan hanya cukup buat makan, itupun makanan yang sederhana. Mungkin karena itulah anak perempuan itu ketika dewasa hanya berpostur mungil. Apa karena kurang gizi? atau memang karena genetik? Ah ... entahlah.

Tinggal di sebuah desa yang masih sejuk udaranya. Sebuah desa yang terletak di arah barat daya dari kota Gresik. Hamparan sawah yang luas dengan kultur masyarakat dinamisme yang masih kental, menjadikan desa itu masih terlihat sangat tradisional.

Konon, dahulu ada sebuah pohon besar yang dijadikan tempat sesembahan. Batang pohonnya disarungi dengan kain berwarna putih, dihari-hari tertentu ada banyak sesajen di bawah pohon itu. Tepat di samping pohon itu ada sebuah mata air. Mata air yang kata beberapa warga tidak akan pernah kering. Beberapa ikan hidup di sana, namun tak seorangpun yang berani mengambilnya. Bunga-bunga jaman dahulu juga masih banyak ditemukan. Bunga nusa indah atau  bunga sepatu bertengger manja di depan rumah mayoritas warganya.

Dahulu ada anak yang hilang, kata orang pintar di gondol Wewe Gombel. Seluruh warganya keluar rumah dan mengililingi desa dengan menggunakan peralatan dapur. Mulai dari panci, tampah, penggorengan, dan lain-lain. Membuat bunyi suara dari peralatan dapur menjadi sebuah nada, persis seperti orkestra berjalan. Mengelilingi desa dari ujung desa sampai ke tempat-tempat yang dianggap angker, termasuk pohon keramat itu. Namun itu cerita dulu, sekarang  desa itu sudah bermetamorfosa menjadi desa yang dipaksa modern karena perkembangan teknologi. Para ibu yang dulunya suka mencari kutu rambut sambil ngerumpi, kini lebih asyik bermain media sosial. Update status ketika hendak pergi ke sawah atau mengantar anaknya ke sekolah.

***

Sang Pelita fajar itu kini menjadi seorang ibu. Ibu yang sedang menggandrungi tulisan. Jari-jarinya  senang menari-nari di atas tuts Laptop miliknya. Dia bebaskan imajinasinya tertuang dalam rangkaian kata. Melalui tulisannya, dia berharap bisa memenuhi harapan kedua orang tuanya. Harapannya bisa membuat tulisan yang menginspirasi orang atau sebagai ladang dalam menebar kebaikan. Seperti mottonya, menulis adalah caranya untuk menyapa dunia.



#TantanganDiskripsi


12 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. "Menulis adalah caranya untuk menyapa dunia"
    Semangat menjadi Pelita Fajar yang selalu dinanti kehadirannya bunda ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin aamiin ...
      yuk ah semangat...menjadi pelita itu melalui tulisan.

      Hapus
  3. Mantap tulisannya, keren 👍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah yang komentar juga tulisannya keren keren euy

      Hapus
  4. Udah ga ada katakata lagi 😂 keren inimah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aduh anak desa, apalah tulisan ini... hanya remehan rengginang di kaleng khonghuan

      Hapus
  5. Yowalah.. Ape neng sawah ae update status mbak Di???😂😂😂 aku ntar mau ke sekolah update status juga ah..#lohh😂

    Btw aku juga lahirnya pas subuh mbak Di..kita samaan.. Yeeaayy😄
    #ya Salam komenku keknya nggak berpaedah banget ya.. Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahahahahaaaaaaaaa
      yo ben ketok gahool ngono lo mba yu hahahahaha
      yeay onok koncone... aseekk

      Hapus
  6. Wah masih ada itu, Anak hilang dicuri wewe gombel

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya mba Wid dulu waktu aku masih SMP. tapi aslinya anak e ga dibawa wewe hahahahaha

      Hapus