Kamis, 12 April 2018

Terimakasih Kenzo!



Namaku Kenzi, biasa dipanggil Ken. Aku dulunya anak yang pemalu, mengindap Selective Mutism (SM) lebih tepatnya. Kini aku berprofesi menjadi seorang pengacara yang bekerja di kantor pengacara ternama di Jakarta. Bertolak belakang dengan kondisi masa laluku bukan? Di meja yang penuh berkas kasus yang sedang aku tangani, kini aku akan menceritakan kisah hidupku 25 tahun yang lalu.

*** 

25 Mei 1990

Rumah berukuran 8x13 bercat biru itu kini ramai tak seperti biasanya. Orang datang silih berganti. Beberapa aku kenal namun banyak yang asing. Ada teman Papa, teman mama, kerabat dekat dan beberapa keluarga besar. Di halaman rumahku yang biasanya sepi, kini banyak mobil dan sepeda motor yang berjejer dengan rapi. 

Aku duduk di teras rumah, persis menghadap pohon mangga. Pohon mangga yang kini terlihat jauh lebih besar dibandingkan awal kami pindah ke sini. Di bawah pohon mangga itu, rumput hijau tumbuh subur, rumput itu memang sengaja ditanam. Sedangkan di dekat pagar, berjejer bunga mawar. Itu adalah bunga-bunga kesanyangan Mama..

Aku amati orang yang berlalung lalang, silih berganti. Banyak tetanggaku yang datang ke rumah. Dari wajahnya aku melihat tak ada gairah dan penuh dengan kesedihan. Sedangkan di dalam rumah, aku mendengar mamaku menangis tak henti. Pamanku yang dari tadi selalu setia menemaniku akhirnya angkat suara.

“Ken ... sekarang Om jadi pengganti papamu ya!” Posisinya yang semula berdiri kini dia duduk. Tubuhnya sejajar dengan tubuhku, tangannya membelai rambutku. Jujur, sebenarnya aku tak begitu mengerti maksudnya, namun aku hanya mengangguk saja.

“Papa kenapa, Om? Kenapa banyak orang datang kerumah Ken?” tanyaku kepada Om Dani, adik papaku. Tadi pagi sebelum banyak orang datang, aku mendengar mama menerima telepone, dia menangis lalu terduduk dengan memanggil nama papa. Dari sanalah aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu dengan papaku.

“Papa Ken ... ga papa kok, papa Ken sekarang sudah bahagia,” jawab Om Dani dengan tersenyum. Namun gurat kesedihan terlihat jelas di wajahnya.

”Om, Ken ... ngantuk, mau istirahat ke kamar, boleh?” tanyaku setengah berbisik. Om Dani tak menjawab pertanyaanku, dia hanya tersenyum dan mengangguk lalu menepuk bahaku.

Aku seret kakiku melewati kerumunan orang yang berada di ruang tamu. Bau cat masih menyengat di hidung. Baru kemarin papa mewarnai dinding tembok ruang tamu itu dengan warna biru. dari tamu-tamu yang hadir, sebagian besar dari mereka menggenakan baju berwarna hitam. Aku lihat sosok mamaku masih duduk di posisi yang sama sejak tadi. Sesekali dia menyeka air matanya, pandanganya kosong, dan beberapa tamu terkadang memeluknya seperti memberikan sebuah dukungan moral.

Aku pegang gagang pintu kamarku, kuputar ke kanan dan ke kiri. Kekacauan pikiranku membuat aku lupa bagaimana cara membukanya. Dengan sedikit kudorong, memanfaatkan berat badanku akhirnya pintu itu terbuka. Aku rebahkan badanku di atas kasur. Aku lihat potoku bersama papa yang terpasang di pigura di atas meja belajarku. Papa kamu kenapa, Pa? tanyaku dalam hati. Jujur aku sangat binggung.

Lalu tak lama kemudian terdengar suara sirene mobil ambulan berhenti di pekarangan rumah. Aku mengintip dari jendela kamarku, sebuah peti mati di keluarkan dari sana. Peti itu digotong masuk ke dalam rumah oleh beberapa orang laki-laki berseragam tentara. Lalu terdengar suara mamaku menangis histeris.


Bersambung ....


#MasaLalu
#BinatangKesayangan
#30DWC
#squad4
#day22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar