Selasa, 17 April 2018

Pardi



Namaku Pardi, waktu itu aku adalah satu-satunya pemuda desa yang merantau ke Jakarta. Dengan tekad merubah nasib dan mencari biaya untuk menikahi wanita pujaanku, Marni, aku berangkat merantau. Sedih sebenarnya meninggalkan desa ini. Desa yang dari kecil tak pernah aku tinggalkan kini aku harus keluar dari zona nyaman. 

Marni adalah gadis pujaanku. Kami sudah menjalin hubungan spesial sudah hampir setahun. Aku berjanji pada dirinya bahwa aku akan menikahinya dan kami akan hidup bahagia. Maka aku pamit untuk merantau ke Jakarta mencari modal menikah dan berumah tangga. 

Pagi itu adalah pagi yang paling menyedihkan dalam hidupku. Aku juga melihat kesedihan di wajahnya. Air matanya mengalir deras. Aku tidak sanggup sebenarnya melihatnya demikian, namun apa boleh buat, tak ada pilihan lagi, aku harus merantau. 

Aku teringat sebuah selendang biru yang sudah aku persiapkan di tas punggungku. Selendang itu memang akan aku berikan kepadanya ketika aku akan pergi. Aku buka tasku dan aku serahkan kepadanya dengan takjim, layaknya petugas paskibraka menyerahkan sang saka ke presiden. 

“Jika kamu rindu aku, kamu pandangi selandang ini!” pesanku waktu itu. Kini air matanya semakin deras mengalir. Lalu aku tinggalkan sosok yang aku cintai itu, tanpa sekalipun aku menoleh ke belakang. 

Hidup di tanah rantauan ternyata tak semudah dibayangkan. Apalagi tanpa orang yang dikenal dan sanak saudara. Bermodal ijasah SMA semua pekerjaan pernah aku coba. Dari tukang potokopi, office boy sampai kerja di toko sepatu. Hingga suatu hari ada lowongan menjadi pramusaji dengan gaji yang lumayan. Aku masukan lamaranku, potokopi ijasah dan curiculum vitae. Alhamdulillah akhirnya aku diterima. 

Pak Usman nama pemilik rumah makan tempat aku bekerja. Orangnya sangat baik. Hampir semua karyawannya betah kerja di sana. Ada yang hingga berpuluh-puluh tahun kerja dengannya. Aku senang kerja di sini selain gajinya lumayan, dapat tempat tinggal dan juga makan. Aku bekerja dari pagi hingga malam. 

Sebenarnya aku ingin sekali mengirim kabar ke keluargaku di desa, atau ke Marni pujaan hatiku. Tapi karena kesibukanku, niat itu sering tak terlaksana. Apakah aku tidak rindu Marni? Aku rindu, sangat rindu. Namun karena pekerjaan telah menyita waktuku terkadang perasaan itu menjadi terlupa. 

Pak Usman suka dengan caraku bekerja, kata teman-temanku, mereka pernah mendengar Pak Usman berkata bahwa aku akan dijodohkan dengan putrinya. Aku hanya menganggap itu pasti gurauan. Aku tak pernah memperdulikan perkataan itu. 

Hingga suatu hari, Pak Usman memanggilku. Beliau menceritakan bahwa beliau suka denganku, dengan kejujuranku dan kerja kerasku. Aku akan dinikahkan dengan putrinya, Maya. Jujur aku binggung harus bagaimana, aku tak punya kebranian untuk menolaknya. Lalu aku teringat Marni? Ah ... paling Marni sekarang juga sudah menikah, sudah sekian lama aku tinggalkan tanpa kabar pasti dia bosan menunggu! Akhirnya aku terima tawaran itu. 

*** 

Suatu hari aku ajak Maya dan anakku pergi ke desaku dulu. Aku ingin tahu kabar kedua orang tuaku biar aku tidak dianggap anak durhaka. Namun aku kaget sekali ketika melihat sesosok wanita yang sepertinya aku kenal, ada selendang biru melingkar di lehernya. Namun kini rambutnya lebih panjang dan acak-acakan, pandangannya kosong, badannya kotor seperti orang yang tidak waras.


Baca Cerita Sebelumnya : Marni 


#30DWC
#Squad4
#Desa
#Day26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar