Sabtu, 17 Februari 2018

Rindu


“Haysa... ada telepon untukmu!”, suara ibu dari ruang tengah.
“Iya Bu.” Dengan langkah gontai aku menuju tempat dimana telepon itu diletakkan.
“Assalamualaikum”, sapaku membuka pembicaraan.
“Haysa ... aku... mau minta maaf”, suaranya gemetar dari ujung telepon. Namun aku tahu siapa dia, aku kenal betul dengan suaranya.
“Mas Fikri, ada apa mas?” tanyaku. Namun tanya itu tidak menemukan jawabannya.
Tut... tut...tut... sambungan telepon itu mati

***
Pagi yang sepi, tak ada suara kecuali bunyi burung-burung pipit menyambut pagi. Semburat warna merah dan sedikit jingga menghiasai langit yang siap menyambut matahari. Hatiku masih membeku karena tanya semalam. Tanya itu telah merenggut nyenyaknya tidurku. Hembusan angin yang terasa dingin saat mnyetuh kulitku nyatanya tak sanggup mengusir kegelisahan dalam hati.

Pagi ini kubulatkan tekad untuk menemui pemuda itu. Pemuda yang sudah kukenal 2 tahun lamanya. Berawal dari perkenalan yang tak disengaja di dalam sebuah bandara. Dan selama 2 tahun ini, dia telah mewarnai hidupku. Dia telah mengajariku banyak hal, tentang kehidupan, tentang bagaimana menjalani hidup bahkan tentang ketuhanan.

Metromini yang kini kutumpangi terasa lambat sekali jalannya. Penumpangnya bergantian, ada yang naik dan ada yang turun. Dari wajah mereka nampak seperti enggan untuk melewati hari ini, meskipun ada juga wajah-wajah yang sangat sumringah. Hingga sampailah dimana tempat yang aku tuju.

Rumah itu masih nampak seram bagiku. Bangunannya masih arsitektur bangunan tua, dengan jendela besar di depannya. Nampak angkuh sekali dengan warna putihnya. Tapi kenapa rumah itu sepi. Pintunya yang terbuat dari jati tertutup, begitu juga dengan jendela-jendelanya. Tak ada aktifitas manusia disana. Bahkan lampu teras dibiarkan menyala.

“Assalamualaikum...” Tak ada yang menyambut salamku. tok.. tok... tok... Kuketok berkali-kali pintu jati itu.

Hatiku semakin kalut, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tadi malam mas Fikri menelepon dan meminta maaf? Dan sekarang rumahnyapun kosong.

 “Maaf Bu, ibu tau kemana keluarga pak Shaleh? Saya ketok pintunya berkali-kali tapi gak ada jawaban,” tanyaku kepada tetangganya.

“Waduh maaf Mba, saya kurang tahu. Cuma kemarin saya lihat mereka pergi bawa koper besar,” jawabnya.

“Pergi kemana ya Bu? Hmm... maksud saya, mungkin sebelumnya pernah cerita sama Ibu mau pergi kemana gitu?”

“Enggak mba... saya juga kurang tahu. Waktu kemarin saya juga ga nanya. Wong sepertinya buru-buru begitu.”

Kemana mas Fikri dan keluarganya? Kenapa tiba-tiba sekali mereka pergi tanpa memberitahuku? Ya... harusnya pamit dulu denganku. Bukankah aku dan keluarga mas Fikri sudah seperti keluarga sendiri? Sebenarnya ada apa ini? Apa yang terjadi dengan mas Fikri dan keluarganya?
Bersambung...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar