Sabtu, 03 Februari 2018

NAURA


Namaku Naura, biasa di panggil Na. Aku tinggal di Aceh Besar, kecamatan Lhoong, gampong Keutapang namanya. Gampongku mempunyai pemandangan yang indah, hamparan laut lepas dengan pengunungan yang hijau. Pantainya masih perawan, deretan pohon pinus dan kelapa membuat keelokannya semakin menawan. Gampongku berada dekat dengan laut hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari bibir pantai dan  ada beberapa bukit  batu di sana. Bukit batu yang kini dijadikan tempat evakuasi jika terjadi tsunami. Karena jaraknya yang dekat, maka tahun 2004 terkena dampak gempa dan tsunami.

***************

Minggu, 26 Desember 2004. Seperti hari minggu biasanya, aku dan adikku akan bermain layang-layang di belakang sekolah kami. Ya... meskipun aku seorang perempuan tapi aku suka bermain layang-layang.
“ Na... kamu tuh anak inong, kenapa kok main layang-layang? Sini bantu mamak, masak sayur pliek ue kesukaanmu!,"protes mamak ku pagi itu.
“Sudahlah mak Cuma hari ni aja, nanti kalau sudah siap, Na bantu mamak cuci baju!",  bujukku.
“Ya sudahlah, tapi sebelum berangkat, tolong kau panggil bapak mu di kedai kopinya bang Fadli, suruh pulang, bapak kau ini betah banget kalau sudah di kedai," jawabnya. Yes kataku dalam hati, berarti negoisasiku berhasil.
Di kamar, adikku sedang membaca buku sambil tidur-tiduran. Setelah berhasil membujuk mamakku, aku segera masuk ke kamar memanggil adikku dan mengambil perlengkapan layang-layang kami. Layang-layang itu berada di kolong tempat tidur.  Namun seketika itu tempat tidur  bergoyang, kulihat sekeliling, pigora poto, hiasan dinding juga bergerak. Mataku melihat jam dinding, dan jam itupun bergerak dan kulihat saat itu pukul 7.58 wib. Adikku yang yang tidur-tiduran di kasur pun panik.
“Gempa”, kataku.
Namun gempa kali ini berbeda dengan gempa yang biasa kami alami. Goncangannya sangat kencang dan durasi waktunya lebih lama dari biasanya.
" mamak... !", teriakku. Aku berlari sambil menggandeng adikku keluar rumah. Di luar sudah banyak orang berhamburan. Gurat  ketakutan tergambar jelas di wajah mereka. Berbagai macam kalimat tasbih mereka ucapkan. Gempa berkekuatan 9,3 skala Richter telah mengguncang jiwa kami. Semua orang ketakutan, semua orang panik.

Belum reda ketakutan itu, kulihat gelombang air laut setinggi pohon kelapa menggulung-gulung  menuju kami. Air itu seperti monster raksasa yang  mengejar. Tinggi dan sangat menakutkan. Kami berlari sekencang mungkin tapi apa daya, monster itu jauh lebih ganas. Hingga akhirnya kami pun tersapu. Air laut yang menghantam kami, membuat kami berpisah. Badanku seperti di makan monster air itu, mataku melihat ada banyak orang didalamnya, tapi tidak kutemukan keluargaku. Orang-orang itu, bergerak- gerak seolah-olah mencari di mana permukaannya. Kucoba menghirup udara tapi aku malah menelan air, perutku kembung kurasa sudah banyak air yang masuk.

Dengan sekuat tenaga ku kerahkan  agar aku bisa muncul kepermukaan, menghirup udara. Sayup-sayup kudengar suara adikku dikejauhan Sebelum dia menghantam pintu rumah yang mengambang di air, kulihat dia, dia berteriak minta tolong. Setelah itu, dia menghantam kayu lagi, lalu dia lemas tak berdaya. kejadian itu terekam jelas dalam ingatku. Aku tersapu ombak lagi, gelap lalu tak sadarkan diri.

**********

Di bukit belakang gampong aku ditemukan, tersangkut di sebuah pohon. Kata orang-orang badanku lemas dan telanjang. Setelah peristiwa itu, semua orang menganggap aku gila. Aku tidak gila, aku hanya histeris ketika lintasan peristiwa tsunami itu melintas. Aku suka tertawa sendiri ketika teringat kenangan  dengan keluargaku. Atau aku akan menangis karena aku rindu sekali dengan bapak, mamak dan adik ku. Hanya itu, dan hari-hariku hanya ada bayangan kenangan itu. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah bicara dengan siapapun.

Kini sudah hampir 2 tahun sejak peristiwa gempa dan tsunami. Warga gampongku mendapatkan rumah bantuan  dari pemerintah Turki, dan sekarang aku tinggal bersama bibiku. Rumah bantuan itu dibangun tidak jauh dari gampongku dulu.
Setiap hari hatiku pilu ketika aku lihat rumah ku tinggal sisa- sisa pondasinya. Tak kutemukan siapapun disana, Emak,bapak dan adikku mana? Bisik ku. Namun tiba-tiba aku teringat adikku. Adikku yang pontang-panting dihantam air dan terbentur kayu, seketika itu aku berteriak, aku teringat gelombang air raksasa itu yang setinggi pohon kelapa. Menyeramkan sekali.

"Tidak... !", teriakku.
Aku berlari sekuat tenaga, menuju arah pantai, aku mau mencari keluargaku tapi tak juga kutemukan siapa-siapa, sepi... hanya ada gerombolan sapi yang yang bertuan tapi dibiarkan. 
Lalu aku pergi menuju bekas sekolah kami, siapa tau adikku bermain layang-layang. Tapi lagi-lagi tidak kutemukan, sekolah itu sama dengan bekas rumahku dan rumah warga lainya hanya tinggal pondasi dan lantai kamar mandinya. Semuanya membisu dan sepi, hembusan angin menyapu wajahku, luka hatiku terasa getir sekali.
"Kemana keluargaku? Aku ingin bertemu mereka!".
 Lalu aku teringat kala itu  mamak menyuruhku untuk menjemput bapak, ya... di kedai bang Fadli. Dengan penuh semangat aku menuju kesana, tapi lagi-lagi aku kecewa, hanya tanah kosong yang kini banyak ditumbuhi rumput dan tumbuhan pantai. Selalu saja begitu, selalu berulang, gelombang air raksasa itu, wajah adikku, aku lari kepantai, ke sekolah lalu ke kedai bang Fadli dan lagi-lagi berakhir dengan kesedihan.

*********
Malam ini susah sekali kupejamkan mataku, suaru gemuruh ombak laut itu mengusikku. Malam ini keputusan bahwa aku akan mencari keluargaku, ayah ibu dan adikku. Aku sudah tidak tahan dengan rindu yang semakin menderu.
Dengan pelan-pelan aku buka pintu rumah bibi. Malam ini terasa lebih dingin dari malam biasanya. Aku akan ke bukit, aku nyakin keluargaku pasti ada di sana, tersangkut di salah satu pohon seperti yang dulu aku alami.
Dengan langkah panjang kunaiki bukit ini,  bukit yang sama dimana dulu aku di temukan.  Bukit ini kini mempunyai tangga dan bertuliskan, "jalur evakuasi" terpasang di papan. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan keluargaku. Satu persatu  ku naiki anak tangganya,  namun tiba-tiba seperti ada langkah lain selain langkahku. Semakin Aku percepat langkahku, langkah itu juga semakin cepat. Rasa takut tak bisa disembunyikan. Aku takut langkah itu akan mencelakai keluargaku. Aku harus menemukan mereka sebelum langkah itu menemukannya.
Langkahku semakin kupercepat, kunaiki tebing ini dengan setengah berlari, tapi tiba-tiba kakiku terpeleset, badanku berguling-guling kebawah dan kepalaku berkali-kali membentur anak tangganya. Aku terpelanting jatuh kebawah, sebelum tubuhku menghantam tanah, kurasakan kepalaku membentur batu. Seketika itu aku melihat senyum adikku, lalu semua menjadi gelap dan tubuhku serasa melayang, sangat ringan.


#Tantangan2
#onedayonepost
#ODOPbatch5










Tidak ada komentar:

Posting Komentar