Senin, 19 Februari 2018

Dapur

Poto dari Google
"DAPUR” adalah salah satu spot dirumah yang sangat familiar bagi seorang ibu. Bisa dibilang tempat kerjanya seorang perempuan. Walaupun memasak bukan kewajiban seorang istri bukan?


Tapi dari dapur inilah, seorang ibu bisa menyampaikan rasa sayangnya lewat masakan. Betul? Katanya memasaklah dari hati, pasti beda rasanya. Ungkapan tersebut saya kira tidak berlebihan, karena saya juga sudah mengalami, jika hati lagi ga enak atau marah, alamat masakannya bakal aneh. Iya ga? Hayo sapa yang pernah merasa begini?! Hihihi

Namun bagi saya, kegiatan memasak bukanlah kegiatan yang didominasi perempuan, para lelaki harus mau dan mampu di area dapur. Karena apa? Karena sesungguhmya dalam islam seorang suami berkewajiban untuk menyediakan makanan, yang selama ini dianggap domain tugas seorang istri.

4 mazhab besar plus  satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Misal mazhab Hanafi, Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.

Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

Atau Mazhab As-Syafi’i , yang banyak dianut di Indonesia, di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

Meskipun kalau kita membaca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.

Namun satu hal yang harus kita ingat, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Artinya, istri mendapat 'upah' materi di luar uang nafkah kebutuhan bulanan.

Lalu cobalah tengok tentang  kehidupan Rasulullah di rumah, Aisyah r.a, istri Nabi SAW pernah ditanya, “Apa yang dikerjakan Rasulullah di rumah?” Aisyah menjawab, “Seperti layaknya manusia biasa. Beliau menambal bajunya, memerah susu kambingnya, dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmizi). Itulah yang di teladankan rasul Allah dalam aktifitasnya sehari-hari. Dan itu artinya Rasulullah sangat mandiri, beliau tidak bermental mau dilayani. 

Oleh karena itu, kepada ketiga jagoanku, mulai dari kecil, saya tidak segan-segan memperkenalkan wilayah dapur buat mereka eksplorasi. Harapan saya, kelak jika mereka sudah besar bisa mandiri…  Tak sedikit-sedikit minta dilayani. Bukankah itu type suami idaman? Selain dari kesholehan? Hehehe... kreteria orang beda-beda ya, itu sih terserah anda mau yang bagaimana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar